Deklarsi HAM yang di cetuskan di PBB pada tanggal 10 Desember 1984 tidak berlebihan jika di katakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang di lakukan Negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam perang dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mempunyai makna
ganda, baik ke luar (antar Negara-negara) maupun kedalam (antar Negara-bangsa),
berlaku bagi semua bangsa pemerintahan di Negaranya masing-masing. Makna adalah
berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan
martabat kemanusiaan antar Negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus
lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan. Sedangkan mekna ke dalam, mengandung pengertian bahwa deklarasi
HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi criteria objetif oleh rakyat dari
masing-masing Negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah.
Bagi
Negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian
setiap pelanggaran atau penyimpangan dari deklarasi HAM sedunia di suatu Negara
anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari Negara yang
bersangkutan, melainkan juga masalah bagi rakyat dan pemerintahan Negara-negara
anggota PBB lainnya. Mereka absya mempersoalkan dan mengadukan pemerintah
pelanggar HAM di suatu Negara ke komisi tinggi HAM PBB atau melalui
lembaga-lembaga HAM internasional lainya untuk mengutuk bahkan menjatuhkan
sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun
hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub
dalam deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku
bagi siapapun, dari kelas social dan latar belakang primordial apapun serta
bertempat dimana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama semua
kandungan nilai-nialainya berlaku untuk semua.
Di
Indonesia HAM sebenernya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi
selatan telah dikenal sejak lama,kemudian di tulis dalam buku-buku
adat(Lontarak). Antara lain di nyatakan dalam buku lontarak (Totamindo di
Lagana) bahwa apabila raja berselisi faham dengan dewan adat, maka raja harus
mengalah. Tetapi apabilah para dewan adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang
memutuskan. Namun hal ini kurang di perhatikan karena sebagian ahli hokum
Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hokum barat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam
perkembanganya tidak menonjolkan karena dipublikasikan.
Human
Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya
mengapa tidak di sebut hak dan kewajiban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa
bukan Social Rights. Bukankah Sosial Rights mengutamakan masyarakan yang
menjadi tuhan? Sesungguhnya dalam Human rights sudah implicit adanya kewajiban
yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin
kita mengatakan ada hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap
masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban.
Contoh : seorang yang berhak menuntuk perbaikan upah, haruslah haruslah
terlebih dahulu memenuhi kewajibanya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan
demikian tidak perlu dipergunakan istilah social Rights karena kalau kita
menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah masuk
pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh menggangu
kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban
antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum.
Ada
yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar
belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal declaration of Human Rights kita
akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di
Negara-negara lain khususnya Negara barat yang latar belakang sejarah dan
budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa Negara-negara di dunia(tidak
terkecuali Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik,
social, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja
berpengaru dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi
yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-pinsip mendasar HAM yang universal
itu dapat di kaburkan apalagi diingkari.