Selasa, 20 November 2012

SEJARAH NASIONAL HAK ASASI MANUSIA



Deklarsi HAM yang di cetuskan di PBB pada tanggal 10 Desember 1984 tidak berlebihan jika di katakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang di lakukan Negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam perang dunia II.

Deklarasi HAM sedunia itu mempunyai makna ganda, baik ke luar (antar Negara-negara) maupun kedalam (antar Negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa pemerintahan di Negaranya masing-masing. Makna adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan mekna ke dalam, mengandung pengertian bahwa deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi criteria objetif oleh rakyat dari masing-masing Negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Bagi Negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari deklarasi HAM sedunia di suatu Negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari Negara yang bersangkutan, melainkan juga masalah bagi rakyat dan pemerintahan Negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absya mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu Negara ke komisi tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainya untuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas social dan latar belakang primordial apapun serta bertempat dimana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama semua kandungan nilai-nialainya berlaku untuk semua.

Di Indonesia HAM sebenernya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi selatan telah dikenal sejak lama,kemudian di tulis dalam buku-buku adat(Lontarak). Antara lain di nyatakan dalam buku lontarak (Totamindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisi faham dengan dewan adat, maka raja harus mengalah. Tetapi apabilah para dewan adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memutuskan. Namun hal ini kurang di perhatikan karena sebagian ahli hokum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hokum barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembanganya tidak menonjolkan karena dipublikasikan.

Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak di sebut hak dan kewajiban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankah Sosial Rights mengutamakan masyarakan yang menjadi tuhan? Sesungguhnya dalam Human rights sudah implicit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seorang yang berhak menuntuk perbaikan upah, haruslah haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibanya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah masuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh menggangu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum.

Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di Negara-negara lain khususnya Negara barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa Negara-negara di dunia(tidak terkecuali Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, social, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaru dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-pinsip mendasar HAM yang universal itu dapat di kaburkan apalagi diingkari.