Selasa, 30 Oktober 2012

OTONOMI DAERAH DAN HAMBATANYA


Disarikan dari tulisan  Dr.Zainul Itthad Amin,Drs.,M.Si

A. PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH

1.  Perbedaan Konsep


Ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan
terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.

Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.

Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan” dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.

Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai interpretasi.

Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.

Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi (lihat Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan sebagai The Degree To Which and Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah mengontrol kepada kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal terlepas dari pengaruh lingkungannya. 

Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai keadaan di mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “nomos” yang berarti aturan perundangan. Dengan makna ini otonomi daerah dapat diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian.

Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “negara kesatuan” namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah), tersebut muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi” namun isinya adalah ”sentralisasi”.

Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal, sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas. Jika hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi, negara federal lebih efisien dikelola secara terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No. 22 Tahun 1999 berisikan kebijakan yang mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini bertentangan dengan khitah negara kesatuan yang terlanjur kita anut.

Memang tidak ada salahnya atau sah-sah saja negara kesatuan dikelola dengan cara terdesentralisasi namun dengan risiko tidak efisien. Di sisi lain perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya menggunakan pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut diambil komponen-komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan kebijakan yang ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini mempunyai kelemahan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat campuran minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang sangat berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4    ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa antara masing-masing daerah termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.

Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten - kota (lihat Pasal 9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi tanpa adanya hierarki? Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, apalagi kepada lembaga yang tidak berada di atasnya secara struktural. Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI mengontrol langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga non-departemen. Ini suatu hal yang luar biasa. Rentang kendali (span of control) yang begitu luas, tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa.

Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek UU No. 22 Tahun 1999 itu adalah konsep berpikir ala Amerika yang hanya bisa diterapkan di negara Federasi seperti Amerika Serikat yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution, padahal yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia itu adalah “desentralisasi dan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan”, di mana hubungan antara Pusat dan Daerah tetap terpelihara dengan baik, sedangkan otonomi daerah berjalan secara mandiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif, yang perlu dilakukan adalah pengakuan dari Pemerintah. 

Walaupun secara akademik teori penyerahan kewenangan itu menganut model General Competence atau Formele Huishoudingsleer, namun ditinjau dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan penjelasan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 jelas-jelas merupakan reference Amerika yang hanya mungkin itu terjadi apabila diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, konsep “kesetaraan” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan “tiadanya hubungan hierarki” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Daerah Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-potong adalah juga suatu rujukan dari konsep “devolution” ala Negara Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang-undang otonomi daerah. Idealnya sebuah undang-undang dilaksanakan  5 (lima) tahun setelah diundangkan. Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan waktu.

Malangnya UU No. 22 Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu UU tersebut penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan. Presiden B. J. Habibie menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5 Mei 2001, undang-undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi. 

Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar), apalagi UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang merombak seluruh tatanan Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP, pedoman dan sejenis lainnya belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak hanya pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat di level pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak bijaksana kita mencari kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh karena itu, otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang konsep otonomi di atas sangat variatif, seperti kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power untuk melakukan kontrol, empowerment, dan kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan tentang konsep otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas kebijakan.

2. Perbedaan Paradigma

Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan. 

Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.

Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.

Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.

UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.

Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya sumber daya dengan menyandera masalah ekonomi ini untuk mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng dari hakikat otonomi itu sendiri.

B. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI


Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).

Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic

C. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT


Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. 

Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.

D. KESALAHAN STRATEGI


UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.

Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.

Jika dikaji UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.

Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara “otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.Dalam hubungan ini, seperti dikatakan Moh. Hatta, bahwa “memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.



Sumber : Modul 8 MKDU4111