![]() |
M. Natsir dan Soekarno |
I. Hal Yang
Dipermasalahkan
Perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara merupakan pemasalahan lama yang dipertentangkan dikalangan para pemikir, yang hingga saat ini belum dapat terselesaikan, baik dikalangan pemikir di Eropa Barat maupun di Timur. Pertentangan ini bermuara pada kenyataan sejarah pada masa abad pertengahan yaitu pada kurun waktu abad ke 7 Masehi hingga abad ke 15 Masehi di Eropa Barat, yaitu masa kekuasaan para pendeta gereja menguasai seluruh aktivitas kehidupan masyarakat, zaman ini disebut dengan zaman Patristik Romawi yaitu zaman kekuasaan para bapak-bapak gereja.
Pada masa patristik ditandai dengan
adanya dominasi greja di Roma, dimana kekuasaan agama dan kekuasaan negara
berada di tangan Paus. Gereja Roma pada waktu itu tidak hanya berfungsi sebagai
institusi agama, tetapi juga berfungsi sebagai institusi negara. Keadaan ini
mengakibatkan terjadi banyak penyelewengan agama demi kepentingan politik,
penyelewengan tersebut seperti penjualan surat pengampunan dosa, penarikan
pajak yang bersifat memaksa, menekan ilmuwan untuk tidak melakukan penelitian
yang bertentangan dengan doktrin gereja.
Dengan adanya peran gereja yang
terlalu mendominasi, mengakibatkan sering terjadi kepentingan politik
dilegitimasi oleh doktrin agama, akibatnya terjadi banyak penindasan yang
dilakukan oleh para penguasa politik yang berselimut dibalik agama.
Demikian permasalah yang terjadi
dalam kenyataan sejarah di Eropa pada waktu itu. Kenyataan tersebut kemudian
melahirkan kesadaran para ilmuwan Barat untuk melakukan protes sebagai koreksi
terhadap sistem kekuasaan yang berlaku di Barat. Protes tersebuit disampaikan
dalam berbagai cara, namun yang memilki pengaruh adalah bentuk protes yang
disampaikan dalam publikasi ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Martin Luther,
Zwingli, dan kawan-kawannya.
Luther sebagai seorang khatolik yang
taat, menyadari betul terhadap berbagai penyelewengan ynag dilakukan oleh para
pendeta geareja dengan memalingkan agama untuk kepentingan pribadi mereka,
sehingga Luther melakukan protes keras terhadap kekuasaan gereja dengan
menuntut adanya kebebasan, kepemilikian, keadilan, dan kebersamaan. Dari
tuntutan inilah kemudian melahirkan renaisance dan reformasi di Barat.
Di Indonesia persoalan hubungan antara
agama dan negara menjadi polemik yang tetap menarik, polemik tersebut
sebenarnya tidak didasarkan pada kenyataan empirik atau tidak punya dasar
sosiologis, tetapi polemik tersebut lebih hanya diakibatkan oleh adanya
kekwatiran dari kalangan intelektual dan para tokoh pemikir terhadap adanya
penyelewengan agama untuk kepentingan politik.
Soekarno dan Natsir merupakan
rerefresantasi dari kelompok nasionalis Islam dan nasionalis tulen, mereka
merupakan figur yang memiliki pandangan yang berbeda tentang hubungan antara
agama dan negara, namum perbedaan tersebut tidaklah bersifat prinsifal,
melainkan karena adanya perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dan kenyataan
sosial yang terjadi disekitar mereka.
Menurut pandangan Soekarno bahwa agama
dan negara harus dipisahkan eksistensinya, karena untuk memberikan kebebasan
pada masing-masing institusi tidak dapat dihindari bahwa keduanya harus
dipisahkan. Pandangan tersebut didasarkan pada bahwa tujuan politik adalah
kekuasaan negara, sedangkan tujuan agama adalah kebahagian hidup di dunia dan
di akhkirat. Sementara Natsir memiliki pandangan yang berbeda dengan Sukarno,
Natsir menganggap bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan eksistensinya,
karena agama sendiri didalamnya memerintahkan untuk hidup bernegara demi
mewujudkan kebahagian seluruh umat manusia.
Berdasarkan uraian di muka, bahwa
hubungan antara agama dan negara
merupakan persoalan yang perlu terus kita kaji ulang, dan menjadi sangat
menarik untuk ditelaah secara analitis dengan pendekatan historis. Dari hal
tersebut yang menjadi persoalan adalah, mengapa terjadi pertentangan pandangan
tentang hubungan agama dan Negara antara Soekarno dengan M. Natsir ?
II. Teori dan Fakta
Penelitian
A. Teori Tentang Hubungan Antara Agama dan Negara
Pada tahun 1930-1940 terjadi pergeseran
sistem pemerintahan di beberapa belahan dunia Islam yang sempat mempengaruhi
model perjuangan pemuda dan kaum intelektual Indonesia. Hal ini berawal dari
Persia dan Turki Muda. Jika, dalam pergeseran ini, Persia berupaya membangun
kekaisaran dengan maksud mengembalikan masa jaya kekaisaran Persia sebelum
Islam, dalam hal ini Turki Muda, lewat Kamal Ataturk, berminat mengganti hukum
Syariah dengan kode hukum Barat, setelah terlebih dulu melebur sistem Khalifah
dengan Republik Turki.[1]
Kamal Ataturk, yang memiliki nama
asli Mustafa Kamal, melakukan perubahan sistem pemerintahan Turki dengan cara
yang cukup radikal. Mula-mula pada tanggal 3 Maret 1924, Kemal memberlakukan
Undang-Undang yang berisi : menghapus sistem kekhalifahan, menurunkan khalifah,
dan mengasingkan bersama seluruh keluarganya, menghapus kementrerian syariah
(agama), dan menyatukan sistem pendidikan syariah di bawah menteri pendidikan.
Tetapi tindakan radikal Mustafa Kamal ini segera mendapat tantangan di
mana-mana. Beberapa pendukung utama Mustafa kamal bahkan mengadakan gerakan
bawah tanah untuk menggulingkannya. Berbagai surat kabar yang digerakkan oleh
para penentang Mustafa Kamal juga dengan cepat melancarkan kampanye "anti
Kamalis".[2]
Sesungguhnya fenomena revolusi
semacam ini tidak layak dijadikan parameter pemikiran revolusi soekarno.
Mungkin tentang konsep pemikiran menuju pemisahan agama dengan negara Soekarno
juga mengambil dari kasus-kasus lain.[3]
Gagasan Soekarno tentang pemisahan
antara Agama dengan Negara diinspirasikan oleh kasus Turki Muda, dan kasus
tersebut mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Soekarno, mencoba merespon
secara positip gerakan Turki Muda tersebut. la menampilkan gagasan
"Pemisahan Agama dengan Negara". Soekarno mengangkat tulisan berjudul
"Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dan Negara?" Bagi Soekarno, pemisahan ajaran Islam dengan
sistem pemerintahan di Turki melalui peleburan dari sistem Khalifah menjadi
Republik Turki merupakan gagasan brilian.
Soekarno kemudian mengangkat tulisan:
"Apa sebab Turki memisahkan agama dari negara?" Soekarno menulis:
"Orang mengatakan bahwa Turki
sekarang anti Islam, padahal seorang seperti Frances Wodsmal, yang telah
menyelidiki sebagian itu berkata: 'Turki modern adalah anti kolot, anti
soal-soal lahir dalam hal-hal ibadat, tetapi tidak anti agama, Islam sebagai
kepercayaan person tidaklah dihapuskan, sembahyang-sembahyang di masjid
tidaklah dihapuskan dan tidak pula diberhentikan, aturan-aturan agama pun tidak
dihapuskan'. Orang mengatakan bahwa Turki ini tidak menyokong agama, karena
memisahkan agama dari sokongannya negara, padahal Halide Edib Hanoum, sebagai
dulu pernah saya setir, adalah berkata bahwa agama itu perlu dimerdekakan dari
asuhannya negara, supaya menjadi subur. "Kalau Islam terancam bahaya
kehilangan pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak
diurus oleh pemerintah, tetapi ialah justru karena diurus oleh pemerintah. Umat
Islam terikat kaki tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintah. Hal
ini adalah satu halangan besar sekali buat kesuburan di Turki. Dan bukan saja
di Turki, tetapi di mana-mana saja, dimana pemerintah campur tangan di dalam
urusan agama, di situ menjadilah ia satu hilangan besar yang tak dapat
disyahkan." [4]
Bagi Soekarno, campur tangan agama dalam
urusan pemerintahan mengakibatkan kelemahan agama di satu sisi dan kemandegan
otoritas pemerintahan di sisi lain, Kasus Turki berhasil menarik pandangan
Soekarno bahwa hukum-hukum agama (Islam) menjadi sesuatu yang menyeramkan, yang
dijadikan kesempatan bagi raja-raja zalim bertangan besi untuk menghukum siapa
saja yang menentang pemerintahannya. Sementara langkah-langkah pemerintah yang
dapat dipandang bijaksana dan efektif bagi sistem pemerintahan justru sering
berbenturan dengan paham-paham agama yang dianut oleh para ulama Turki
tersebut.[5] Untuk itu Soekarno berpandangan bahwa pemisahan antara agama
(Islam) dengan negara dimaksudkan, agar supaya "Islam menjadi merdeka dan
negara pun menjadi merdeka." Dalam arti, terjadi kemandirian agama di satu
sisi dan kemandirian negara di sisi yang lain. Agar supaya Islam berjalan
sendiri. "Agar supaya Islam subur dan negara pun subur pula."[6]
Soekarno meragukan kebangkitan sebuah
pemerintahan negara, jika masalah-masalah spiritual masih terus menjadi
pengikat. Turki Muda, dalam pandangan Soekarno, adalah sebuah bangsa yang
sedang bangkit, tetapi ikatan-ikatan spiritual agama Islam, melalui para ulama,
telah menghambat bangkitnya negara tersebut.[7]
Di samping tekanan-tekanan terhadap
kemandegan kreatifitas berkreasi di bidang ilmu dan teknologi, ikatan spiritual
Islam yang dipahami oleh para ulama Turki juga membawa akibat kemerosotan di bidang
ekonomi. Untuk itu Soekarno berkeyakinan bahwa tidak ada gunanya mempunyai
suatu negara Islam kalau negara Islam itu dalam praktik kehidupan
internasional, maupun kehidupan bangsa itu sendiri selalu menjadi perbincangan
orang. Menurut Soekarno keadaan inilah yang menyebabkan Turki disebut "de
zieke va Eropa," yaitu seorang sakit di Eropa, yang menjadi cemoohan
masyarakat Internasional, khususnya bangsa-bangsa Eropa.[8]
Atas dasar ini semua, Turki mencoba
menawarkan metode baru dalam pemerintahannya. Soekarno tanpa ragu-ragu mengutip
pernyataan Kamal Ataturk atas fenomena ini, bahwa "Islam di Turki itu
telah menjadi satu agama yang konvensional karena diikatkan kepada satu negara
yang konvensional.[9] Satu-satunya metode untuk mengatasinya adalah memisahkan
agama dari negara.
Tampaknya pemikiran Kemal Ataturk tentang
pemisahan agama dengan negara cukup kuat mempengaruhi pemikiran Soekarno. Untuk
ini Soekarno menjadi seperti sosok politikus yang jauh dari memahami
dasar-dasar ajaran Islam. Kekaguman Soekarno terhadap konsep Kamal Ataturk
berakibat pada unsur-unsur "taklid" dalam pemikirannya, satu hal yang
selama ini terus ditentangnya. Ini tentu saja sangat bertolak-belakang dengan
gaya pemikiran Soekarno sebelumnya, yang meskipun kurang didukung dengan
sumber-sumber Islam secara langsung telah menampilkan cakrawala yang cukup
menggugah.
B. Fakta Penelitian:
Polemik Antara Soekarno dan M. Natsir tentang Hubungan Antara Agama dan Negara
Pemikiran tentang pemisahan antara agama
dan Negara menurut pandangan Soekarno hanya meniru secara gamblang dari
peristiwa Turki, dengan tanpa mempertimbangkan lebih jauh bahwa situasi Turki
dengan negeri-negeri Islam lain di dunia masing-masing memiliki persoalan yang
berbeda. la, misalnya, mengatakan bahwa Turki telah menempuh langkah yang hebat
dan sangat berarti dalam sejarah dunia. Turki punya alasan-alasan sepanjang
pengetahuan bahwa baik di dalam urusan ekonomi, maupun di dalam urusan politik,
sistem pemerintahan Turki lama tidak bisa membawa Turki dalam kehidupan dunia
yang semakin moderen.
Amat disayangkan bahwa Soekarno kurang
cermat memahami pokok persoalan dalam kasus Turki. Sesungguhnya permasalahan
mendasar Turki terletak pada kelemahan umat Islam dan para ulama negara itu
untuk memahami ajaran Islam secara universal dan menyeluruh. Kenyataan ini
terlihat dengan membudayanya penyalahgunaan ajaran-ajaran agama sebagai alasan
untuk meninggalkan tugas-tugas pemerintahan. Kewajiban-kewajiban agama, seperti
shalat dan puasa dijadikan alasan yang strategis untuk meninggalkan tugas-tugas
negara, sehingga tugas-tugas kenegaraan terabaikan. Dangkalnya tingkat
pemahaman keagamaan ini mengakibatkan kemandegan intelektual. Penemuan-penemuan
ilmu dan teknologi, seperti radio dan barang-barang elektronik, dipandang
sebagai barang yang haram. Sementara hukum agama diperlakukan dengan cara yang
jauh dari maksud yang sebenarnya.[10]
Sesunguhnya cara untuk mengendalikan
kekacauan beragam ini adalah dengan menggali ajaran Islam secara cermat. Konsep
ajaran Islam yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politik, kenegaraan,
ekonomi, ilmu dan teknologi mesti ditawarkan secara jelas. Yang menjadi tanda
tanya besar adalah tentang konsep-konsep pemikiran Soekarno. Antusias Soekarno
terhadap pemikiran Islam yang nyaris menempatkannya sebagai "pembaru"
ternyata tidak mampu memberikan jalan keluar secara tepat terhadap kasus Turki.
Padahal pokok utama kasus Turki adalah perlunya membangun kembali
pemikiran-pemikiran agama dalam Islam.
Pemikiran Mohammad Natsir tentang "hubungan
antara Agama dan Negara," merupakan reaksi terhadap pemikiran Soekarno
tentang "Pemisahan Agama dengan Negara" sebagaimana dikemukakan di
atas. Natsir menulis secara berturut-turut di majalah Panji Islam, dengan judul
Persatuan Agama dengan Negara. Tulisan tersebut terdiri dari beberapa anak
judul, di antaranya yaitu: Persekot, Arti Agama dalam Negara, Mungkinkah
Al-Quran Mengatur Negara?, Islam Demokrasi, Islam in Schultzchaft, Kemal Pasha
dan Vriy Metselarij, Kemalisten di Indonesia, dan Berhakim pada Sejarah.
Tulisan-tulisan itu, satu sama lain, saling berkaitan, dan dihimpun oleh D.P.
Alimin dalam buku Capita Selekta.[11]
Tulisan
pertama, Persekot, merupakan dasar argumentasi Natsir dan mengilhami
tulisan-tulisan berikutnya, yaitu komentar singkat atas tuntutan Soekarno
terhadap telaah pembaharuan Kemal Pasya yang menekankan, bahwa untuk menilai
pemikiran dalam peristiwa Turki, harus dilakukan telaah secara serius atas
sekitar 40 literatur yang berkaitan dengan masalah-masalah agama dengan negara
tersebut. Dalam hal ini Natsir menolak secara tegas tantangan Soekarno
tersebut. Bagi Natsir, ukuran sebuah analisis bukan ditentukan semata-mata oleh
jumlah bacaan, tetapi berdasarkan pada kualitas pemikiran dan kemampuan
menyerap hasil bacaannya.[12]
Dalam
"Arti Agama dalam Negara," Natsir mendahului gagasannya dengan
mengetengahkan pengertian "agama" dan "negara." Dengan
merujuk ayat "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah,"[13] Natsir menekankan bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini
adalah mencapai hamba Allah dalam arti sepenuhnya, yaitu kejayaan di dunia dan
kemenangan di akhirat. Dan dengan pengertian ini, kehidupan di dunia dan di
akhirat tidak dapat dipisahkan.[14]
Natsir
menekankan bahwa pengertian agama dalam Islam bukan sebatas pada ibadat-ibadat
ritual, tetapi mencakup semua aspek sosial dan seluruh kehidupan masyarakat,
berdasarkan kaidah hukum dan aturan yang secara rinci terhimpun dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi.[15]
Ajaran Islam, mencakup seluruh aspek
kehidupan. seperti: zakat, perkawinan dan perceraian, hukuman terhadap
perzinaan, larangan berjudi, larangan minuman keras, dan berbagai penyakit
masyarakat lainnya. Demikian juga Islam melarang kemusyrikan, khurafat,
takhayul, dan berbagai kepercayaan yang dapat meruntuhkan kekuatan ruhani umat
Islam. Upaya mencegah permasalahan ini
tidak dapat tercapai tanpa ada kekuatan kekuasaan, yaitu kekuasaan
pemerintahan. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai landasan berlakunya aturan-aturan
hukum dalam agama Islam, tidak dapat menjalankannya sendiri, karena "AI-Qur’an dan Sunnah Nabi tidak
bertentangan dan tidak berkaki,” maka perlu cara lain untuk melaksanakan dan
menjaga agar peraturan-peraturan itu dapat diterapkan dengan semestinya. Dengan
mengutip ucapan Rasulullah Saw., bahwa "Sesungguhnya Allah memegang dengan
kekuasaan penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegang oleh AI-Quran itu
(HR Ibnu Katsir)" Natsir kemudian menulis:
"Seperti
buku Undang-undang yang lain-lainnya juga, Al-Qur’an pun tidak dapat berbuat apa
pun dengan sendirinya, dan peraturan-peraturannya tidak akan berjalan dengan
sendirinya, dengan semata-mata ia letakkan di atas lemari atau sekalipun
dijunjung di atas kepala.... Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan
patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan
tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup, berupa
kekuasaan negara.”[16]
Dari sini akan terikat suatu pengertian
yang jelas bagi posisi "agama" maupun "negara". Oleh karena
itu, lanjut Natsir, "Bagi kita kaum Muslimin negara bukanlah badan yang
berdiri sendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan 'Persatuan Agama dan Negara',
kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu sekadar dimasuk-masukkan saja di
sana-sini kepada negara itu". Tetapi bagi Natsir, "Persaruan agama
dengan negara" mengikat suatu pengertian bahwa negara merupakan alat dan
sarana, sedangkan tujuannya adalah mencapai berlakunya undang-undang Ilahi.
Dengan demikian agama adalah tujuan, sementara negara merupakan alat untuk
mencapai tujuan tersebut. Dalam arti, bahwa "negara pada dasarnya
merupakan alat bagi masyarakat Islam untuk melaksanakan aturan-aturan
agama." Pengertian ini, kelak juga menjadi landasan bagi pemikir modernis
"generasi baru" dalam menentukan kriteria-kriteria pemerintahan
Islam. Dalam hal ini Natsir menguraikan:
"Urusan kenegaraan pada pokoknya dan
pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu intergreereng
deel dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah: kesempurnaan berlakunya
undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri
(sebagai individu), ataupun sebagai anggota masyarakat Baik yang berkenaan
dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan
kelak dialam baka.[17]
Oleh karena itu, pembaruan Kemal Ataturk
memisahkan agama dari negara dalam rangka memberi kesuburan terhadap tumbuhnya
agama, sangat bertolak belakang dengan pemikiran Natsir. Bagi Natsir cara
tersebut bukan saja tidak melindungi, tetapi juga "melempar dan menginjak-injak
aturan agama". Lebih jauh Natsir melihat, langkah yang dipakai dalam
proses pembaruan di negara Turki sangat lemah dan bertentangan dengan semangat
kedinamisan ajaran Islam.[18]
Hal
itu setidaknya dapat dilihat dalam tiga hal. Pertama, sistem pemerintahan
melalui penggabungan negara dengan agama yang sebelumnya berlaku di Turki
secara kebetulan bersamaan dengan masa suram negeri itu. Kedua, studi pemikiran
para pembaru Turki cenderung mengambil pemikiran dan karya-karya orientalis
yang memberikan gambaran pemerintahan Islam dalam potret raja dan tirani yang
dikelilingi dayang-dayang. Ketiga, fenomena masyarakat Islam Turki yang
diwarnai kejumudan, khurafat dan takhayul dijadikan gambaran untuk melihat
Islam secara keseluruhan.[19]
Fenomena
inilah yang menjadi gambaran kehidupan pemerintahan Turki sebelumnya.
pemerintahan semacam ini, dalam pandangan Natsir, tidak dapat diselamatkan
dengan cara meniadakan peranan agama di dalamnya. Bahkan peranan agama (Islam)
amat diperlukan untuk mengatur kembali sistem pemerintahan dan menjadi konsep
moral kehidupan rakyat Menurut Natsir, suatu masyarakat yang sudah jauh dari
ajaran-ajaran agama "apakah lagi dari agama itu, yang akan dipisahkan dari
padanya?"[20]
Untuk
itu, fenomena itu sesungguhnya hanya dapat diatasi dengan memperhatikan
beberapa hal. Pertama, menerapkan prinsip-prinsip ajaran agama dalam arti yang
sebenarnya, yaitu ajaran agama yang di dalamnya memuat hubungan sosial antara
sesama manusia dan hubungan batin dengan Ilahi dalam bentuk-bentuk peribadatan.
Di dalamnya juga memuat etika, moral dan budi pekerti rakyat, serta ditanamkan
pula falsafah kehidupan yang suci dan semangat perjuangan mencapai keselamatan
dunia dan akhirat. Dengan kata lain, menyatukan sistem politik negara dengan
kaidah-kaidah ajaran agama.
Kedua,
berusaha memisahkan "pemahaman agama" yang salah itu, yaitu pemahaman
agama yang dipenuhi bentuk-bentuk kejahatan dan kemaksiatan serta
praktik-praktik khurafat dan takhayul, dari sistem pemerintahan negara.
Oleh
karena itu, bagi Natsir, prinsip pembaruan Kamal Ataturk di Turki adalah salah
total. Kesalahan ini ditambah lagi dengan mencoba menggantikan hukum syariah
(Islam) dengan kode hukum Swiss dan Italia. Meskipun kenyataan selanjutnya
menunjukkan bahwa pembaruan ini telah mengarahkan Turki kepada kondisi
pemerintahan yang gemilang, namun prinsip pemerintahan ini menjadi
bertolak-belakang dengan prinsip pemerintahan Islam, dan dengan demikian
menjadi bertolak belakang dengan kondisi Turki yang memang telah menganut
prinsip-prinsip Islam dalam sejarah perkembangan negeri ini.[21]
Natsir
tidak terjebak oleh aturan pemerintahan secara konseptual. Realitas aturan dan
kode hukum negara-negara Barat juga tidak luput dari analisisnya. Natsir bahkan
menjadikan fenomena negara-negara ini sebagai tolak ukur disiplin formal dan
idealitas bangunan pemerintahan Islam. Dengan tetap mengacu pada doktrin Islam,
Natsir memberikan dasar-dasarnya:
"Memang
kalau kita buka Al-Qur’an, kita tidak akan bertemu di dalamnya
petunjuk-petunjuk untuk mencanangkan Anggaran Belanja Negara, tidak ada di
dalamnya peraturan valuta dan aturan devisa dan lain-lain yang semacam itu.
Tidak pula akan berjumpa di dalamnya cara-cara mengatur lalulintas menurut
Islam. Tak ada peraturan evaknasi dan penjagaan menurut sunnah serta 1001 macam
lagi hal-hal yang semacam itu, yang menjadikan suatu negara modern menjadi
sulit rumit, dan gecampliceerd itu. Tidak! Ini semua sudah tentu tidak ada, dan
memang tidak perlu diatur oleh wahyu Ilahi yang bersifat kekal. Sebab semua ini
adalah hal-hal yang berkenaan dengan keduniaan, yang selalu bertukar dan
beredar menurut zaman, tempat dan keadaan. Yang diatur oleh Islam adalah dasar
dan pokok-pokok mengatur masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah
kepentingan dan keperluannya selama manusia masih bersifat manusia, baik ia
manusia zaman unta ataupun manusia zaman kapal udara, ataupun manusia zaman
kapal stratosfeer, dan lain-lain."[22]
Bagi Natsir, dalam Islam tidak ada kepala
agama sebagaimana kedudukan Paus atau Patrich. Sepanjang sejarah Islam, kepala
agama hanya terjadi satu kali dan untuk satu orang, yaitu masa pemerintahan
Rasulullah Saw. Rasulullah sebagai kepala agama ini pada saatnya meninggalkan
satu sistem Islam yang harus dijalankan oleh segenap kaum Muslim dan dipelihara
oleh kepala-kepala "keduniaan". Meskipun Natsir tidak menunjukkan
secara jelas satu keyakinan bahwa selain pemimpin agama, Muhammad juga seorang
kepala negara. Untuk itu, bagi Natsir, pemimpin-pemimpin seperti Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali adalah pemimpin-pemimpin keduniaan, yang menjalankan aturan
pemerintahan berdasarkan aturan yang pernah dijalankan oleh Muhammad Saw.
sebagai kepala agama.[23]
III. Tinjauan atau
Ulasan Penelitian
Polemik antara Soekarno dengan
Mohammad Natsir tentang hubungan agama dengan negara itu, pada saatnya, menjadi
cermin bagi kedua tokoh ini dalam menggagas Dasar Negara yang tepat bagi
Indonesia. Gagasan kedua tokoh tersebut juga kelak menjadi simbol dan mendasari
lahirnya kelompok para elite Indonesia dari aspek sikap politik maupun dalam
aspek ideologi, dengan perbedaan dua kelompok besar, yang dikenal dengan
Nasionalis Sekular dan Nasionalis Islami (religius).
Pemikiran
dan gagasan mana yang akan mampu memberi eksistensi bagi dasar negara Rl, bisa
dilihat pada pembahasan-pembahaan di belakang nanti.
Perbedaan pandangan antara
Soekarno dan M. Natsir tentang hubungan antara agama dan negara merupakan hal
yang menarik untuk dikaji secara analitis. Hal ini mengingat bahwa polemik
tersebut memiliki latar belakar sosiohistoris dan sosiopolitik.
Soekarno dalam menggagaskan
tentang pemisahan antara agama dan negara tidak hanya mengakomodasi pemikiran
Kemal Attaturk dengan melihat sejarah perkembangan politik Turki, tetapi dalam
pemikirannya memiliki kepentingan politik tersendiri untuk perjuangan
politiknya.
Soekarno dalam posisinya adalah
sebagai seorang intelektual yang briliyan, Soekarno juga adalah sebagai agitator
ulung yang mampu melakukan penggalangan pada tingkat akar rumput untuk
menentang kekuatan Jepang pada waktu itu. Untuk kepentingannya melakukan
penggalangan terhadap semua kelompok kekuatan sosial politik. Soekarno
menggagaskan tentang agama yang harus dipisahkan dari pengaruh politik, dan
begitu sebalikya politik tidak boleh dicampur baurkan dengan agama. Pemikiran
tersebut memang beralasan, karena jika agama disatukan dengan negara
dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik. Dalam
kaitan ini Soekarno khawatir akan melahirkan kekuasaan politik yang despotik,
tirani, dan otoriter dengan cara melegitimasi kepentingan politik oleh agama.
Pada tataran konseptual Soekarno
bersikap keras untuk memisahkan agama dengan negara, dengan argumen-argumen
yang segar dan dapat dipahami. Hal ini diilhami oleh kondisi sosiohistoris
negara-negara yang menyatukan agama dengan negara banyak melakukan penyimpangan
yaitu menjual agama untuk kepentingan negara, dimana rakyat ditekan oleh pera
penguasa politik dengan mengatasnamakan agama. Hal ini tidak terjadi di negara
Turki, tetapi juga terjadi di negara-negara Eropa pada masa kekuasaan Paulus di
Gereja Roma Ortodok.
Soekarno sebagai refresentasi
dari kelompok nasionalisme tulen menginginkan untuk mengakomodasi semua
golongan dalam upaya mencari dukungan politiknya, karena kemenangan politik di
saat negara sedang mengalami berbagai konflik lebih dapat diterima oleh semua
kalangan adalah kelompok nasionalis.
Natsir sebagai seorang nasionalis
Islam merasa bertanggung jawab terhadap keberislamanya, gagasan Soekarno
tentang hubungan antara agama dan negara merupakan persoalan yang perlu
direspon, tidak hanya melalui pendekatan ajaran agama, tetapi melalui
pendekatan sosiohistoris. Hal ini Natsir merasa khawatir jika negara dilepaskan
dari dimensi agama, kekuasaan negara akan menjadi sewenang-wenang, yaitu
aktivitas politik dalam menyelanggarakan negara tidak mempertimbangkan
nilai-nilai etis, akibatnya negara menjadi korup dan yang dirugikan adalah
rakyat.
Kepentingan Natsir merespon
gagasan Soekarno tentang hubungan antara agama dan negara, selain menginginkan
adanya unsur etika dalam berpolitik. Natsir melihat bahwa Agama (Islam)
merupakan alat yang dapat mempersatukan berbagai kelompok yang ada dalam
masyarakat, hal ini dilhami oleh bahwa dalam sejarah pergerakan politik di
Indonesia, Islam sebagai kekuatan sosial politik mampu menggalang kekuatan
untuk menghadapi Barat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sarikat Islam
(SI) dibawah pimpinan Tjokro aminoto. SI berhasil menggalang persatuan dan
kesatuan dalam menghadapi kekuatan Belanda dan merupakan cikal bakal lahirnya
Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Keadaan inilah yang membuat Natsir bersikeras
untuk menggagas tentang hubungan antara agama dan negara, hubungan keduanya
merupakan hubungan yang simbiosis mutualism yaitu hubungan yang tidak dapat
dipisahkan dimana yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Untuk
menyebarkan agama butuh negara atau kekuasaan politik, dan untuk berpolitik
butuh moral. Dengan demikian kata Natsir Agama dan Negara tidak bisa
dipisahkan.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Latar belakang munculnya polemik antara Soekarno dan M. Natsir tentang hubungan antara agama dan negara, karena adanya perbedaan pemahaman terhadap agama, walaupun keduanya sama-sama muslim.
- Selain adanya perbedaan pemahaman yang terhadap agama antara Soekarno dan M. Natsir, juga karena adanya perbedaan kepentingan politik. Perbedaan tersebut adalah jika Soekarno berasal dari nasionalisme tulen, sementara M. Natsir berasal dari nasionalisme Islam.
- Kepentingan Soekarno menggagaskan tentang pemisahan antara agama dan negara, karena Soekarno berkepentingan untuk mengakomodasi seluruh kekuatan politik yang ada di Indonesia pada waktu itu, untuk mendukung kepentingan politiknya dalam upaya mengusir penjajahan Jepang. Sedangkan kepentingan M. Natsir menyatukan antara agama dan negara, karena Natsir melihat bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah Islam. Keadaan ini merupakan potensi yang memliki kekuatan politik yang besar pada tingkat akar rumput dalam upaya melawan penjajahan Jepang.
- Dengan demikian sekalipun mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami hubungan agama dan negara, tetapi mereka memiliki tujuan yang sama yaitu upaya penggalangan untuk mengusir imperialisme dan kolonialisme asing.
DAFTAR PUSTAKA
- Alkilany, Ismail, Sekularisme: Upaya Memisahkan agama dari Negara, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1992.
- Kaabah, Rifyal, Islam dan Fundamentalisme, Pustaka Panji Masyarakat, Jakarta, 1984,
- Mukti AH, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, 1994.
- Natsir, M. , "Persekot," dalam Capita Selecta I, dihimpun oleh D.P. Sati Alimin, Bulan Bintang Jakarta, 1973,
- Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, panitia penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964,
- [1] Rifyal Kaabah, Islam dan Fundamentalisme, Pustaka Panji Masyarakat, Jakarta, 1984, h. 18. Ismail Alkilany, Sekularisme: Upaya Memisahkan agama dari Negara, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1992., h. 77.
- [2] Mukti AH, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, 1994, h. 15
- [3] Baca Selengkapnya Ismail Alkilany, Sekularisme: Upaya Memisahkan agama dari Negara, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1992., h. 17
- [4] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, panitia penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964, h. 404.
- [5] Ibid.
- [6] Ibid.
- [7] Ibid h. 401.
- [8] Ibid.
- [9] Ibid.
- [10] Ibid. h. 415
- [11] Berbeda dengan bagian-bagian judul tulisan Natsir yang lain, dalam menghimpun tulisan-tulisan Natsir tentang "Persatuan Agama dengan Negara" yang terdiri dari 12 judul itu, D.P. Sati Alimin tidak membubuhkan tanggal penulisan pada setiap akhir tulisan. M. Natsir, "Persekot," dalam Capita Selecta I, dihimpun oleh D.P. Sati Alimin, Bulan Bintang Jakarta, 1973, h. 432.
- [12] M. Natsir, "Persekot," dalam Capita Selecta I, dihimpun oleh D.P. Sati Alimin, Bulan Bintang Jakarta, 1973, h. 432.
- [13] Ibid., h. 437.
- [14] Ibid.
- [15] M. Natsir, Op-Cit., h. 442.
- [16] Ibid., h. 438
- [17] Ibid., h. 445
- [18] Ibid., h. 440
- [19] Ibid., h. 441
- [20] Ibid., h. 442
- [21] Ibid., h. 443
- [22] Ibid.
- [23] Ibid.