Sabtu, 06 April 2013

Industrialisasi Perikanan Untuk Siapa

Wajah Nelayan Indonesia
Oleh : Husnul Yaqin

Enam (6 April 2013) adalah hari nelayan Indonesia bagi masyarakat belum begitu banyak mengetahuinya. Sehingga wajar jika nelayan masih menjadi kelompok yang terpinggirkan secara ekonomi sosial, politik dan budaya dan tidak menjadi perhatian serius pemerintah. Pada tahun 2011 jumlah nelayan miskin mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai 31,02 juta orang. Jumlah 7,87 juta orang tersebar disekitar 10.600 Desa nelayan miskin yang tersebar ditanah air.



Sangat ironis, Indonesia sebagai negara kepulauan masih menyisahkan masyarakat nelayan menjadi kelompok tertinggal. Tidak sedikit program-program yang dilakukan pemerintah guna meningkatkan taraf hidup nelayan. Sehingga menjadi perhatian pemerintah. Melalui Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang percepatan penangulangan kemiskinan dan Instruksi Presiden No. 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan hingga terbitlah program Peningkatkan Kehidupan Nelayan (PKN) yang berbasis industrialisasi perikanan.
Industrialisasi Perikanan yang tertuang pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 27 Tahun 2012  dengan tujuan terwujudnya percepatan, peningkatan pendapatan, pembudidaya, nelayan, pemasar dan petambak garam (pasal 3).  Selain itu mendorong komoditas unggulan ditiap daerah melalui pengembangan dan modernisasi sistem produksi dan pemasaran yang terintegrasi dari hulu sampai dengan hilir.

Bagi Serikat Nelayan Indonesia (SNI) pendekatan industrialisasi perikanan hanya berdasarkan pasar bukan pendekatan berbasis komunitas nelayan itu sendiri. Jumlah ekspor terus dinaikan tanpa melihat kebutuhan dalam negeri. Walau ekspor perikanan tahun 2012 menunjukan capaian 3,93 miliar dolar AS atau naik 11,62 persen dibanding tahun sebelumnya, namun ditahun bersamaan jumlah nilai tukar nelayan (NTN) turun. Badan Pusat Statistik merilis nilai tukar nelayan dibulan Januari 2012 turun sebesar 0,27 persen.

Hal ini yang seharusnya di Jawab oleh pengambil kebijakan (Pemerintah) dengan kenyataan jutaan nelayan Indonesia masih terikat hutang pada tengkulak dan sangat kesulitan mengakses modal diperbankan terutama bagi kapal nelayan di bawah 10 GT.  Kurangnya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang seharusnya bisa menjadi akses transaksi nelayan untuk harga ikan yang fair dan adil hampir sebagian mati suri. Ditambahtidak lancarnya distribusi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) sehingga nelayan harus ke SPBU dengan harga yang lebih mahal dan melewati prosedur yang lebih mahal.

Sehingga industrialiasi perikanan masih dipertanyakan untuk siapa?? Kesejahteraan nelayan kah atau hanya mengejar angka pendapatan negara (devisa) saja. Perluasan penyerapan tenaga kerja (pro job) tidak bisa diharapkan karena nelayan banyak berganti profesi atau bekerja dikapal-kapal asing diluar negeri karena bekerja sebagai nelayan didalam negeri sudah tidak bisa diharapkan lagi.

Budi Laksana Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) menegaskan program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN) melalui industrialisasi perikanan masih belum nyata. Faktanya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan masih suka berbicara angka dan wacana untuk peningkatan kesejahteraan nelayan. Nyatanya industrialisasi perikanan masih menabrak rambu-rambu Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 tentang mengutamakan kepentingan produksi dalam negeri untuk konsumsi nasional sebelum dibawa keluar negeri.

Bahkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, dengan mengizinkan secara tunggal kapal 1000 GT untuk membawa ikan keluar negeri. Dimana logikanya jika pasokan ikan dalam negeri saja berkurang.

Bagaimana mau bicara ekonomi biru jika ratusan nelayan jenis rajungan harus menjerit karena harga dipasaran anjlok hingga 30 persen dari harga normal. Jadi sebelum melangkah terlalu jauh alangkah bijaknya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membangun infrastruktur dasar seperti akses mudah diperbankan, Tempat Pelelangan Ikan dan juga Microfinance berbasis komunitas nelayan.