Hanya kurang dari setahun kita telah dihadapkan
pada gonjang-ganjing harga tiga komoditas: kedelai, daging, dan bawang (merah
dan putih). Harga tiba-tiba melonjak tinggi. Padahal, tidak ada tekanan pada
sisi permintaan. Urusan pangan ternyata kian rentan karena
ketergantungan pangan impor kian akut. Ketika harga pangan di pasar dunia bergejolak,
harga akan langsung ditransmisikan ke pasar domestik. Bagai pedang bermata dua,
saat harga turun memukul produsen, saat harga naik menghajar konsumen. Pemerintah
tak berdaya dan tak mampu mengendalikan harga. Negara yang mustinya hadir
sebagai pelindung rakyat, baik produsen maupun konsumen, justru absen.
Ada sejumlah hal yang bisa menjelaskan mengapa semua ini
terjadi:
Pertama, kemerosotan produksi pangan, terutama pangan strategis.
Pemerintah telah menetapkan target ambisius: swasembada jagung, kedelai, gula
dan daging serta surplus beras 10 juta ton pada 2014. Waktu yang tersisa untuk
mencapai target itu tidak lama lagi. Tapi tanda-tanda pencapaian masih jauh.
Kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-tatih. Menurut angka ramalan II
BPS, produksi padi, jagung dan kedelai tahun ini masing-masing 68,96 juta ton
(naik 4,87% dari 2011), 18,96 juta ton pipilan kering (7,47%), dan 783,16 ribu ton biji kering
(-8%). Produksi gula kristal putih diperkirakan 2,5 juta ton, dan produksi
daging 399.320 ton. Dari lima komoditas itu, kemungkinan yang targetnya
tercapai hanya beras dan jagung. Sementara kedelai, gula dan daging nonsense
diraih. Dalam batas-batas tertentu, kinerja produksi pangan yang baik
bisa menekan dampak buruk sistem perdagangan dan tataniaga yang tidak efisien,
konsentris dan oligopolies.
Kedua, liberalisasi kebablasan. Sektor
pertanian dan pasar pangan mengalami liberalisasi besar-besaran sejak Indonesia
menjadi pasien IMF tahun 1998. Lewat Letter
of Intent (LoI), Indonesia harus meliberalisasi berbagai sektor, termasuk
sektor pertanian-pangan. Liberalisasi tak hanya menyangkut pasar (impor), tapi
juga kelembagaan dan pendanaan. Pada 2003 sekitar 83% jenis produk yang masuk
ke Indonesia dikenai applied tariff
0-10%, 15% produk jatuh pada tingkat applied
tariff antara 15-20%, dan hanya 1%
produk menerapkan applied tariff di
atas 30%. Liberalisasi itu belum dikoreksi secara memadai. Indonesia setelah
menjadi anggot WTO, ditambah lagi
liberalisasi lewat berbagai perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA), baik bilateral (seperti FTA Indonesia-Jepang, FTA
Indonesia-China) maupun regional (seperti ASEAN-China FTA,
ASEAN-Australia-Selandia Baru FTA, dan ASEAN-India FTA), bea masuk beras dan gula hanya 30%, dan susu 5%. Tak
heran bila tarif bea masuk di Asia, rata-rata tarif Indonesia paling
rendah: 4,3%. Padahal India rata-rata 35,2%; Vietnam 24,9%; Jepang 34,0%;
Thailand 24,2%; dan China 17,4% (The Economist, 2012). Lemahnya karantina, penerapan SNI, dan berbagai aturan
pengaman membuat impor membanjiri Indonesia.
Ketiga, dominasi orientasi pasar
kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, termasuk kedelai, daging dan
bawang, diserahkan pada mekanisme pasar. Kalaupun diatur hanya waktu dan kuota
impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani
sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar.
Kenyataannya, ketiga persayaratan itu belum terpenuhi. Efisiensi dan daya saing seringkali jadi alasan
impor. Argumen yang selalu dibangun adalah ‘kalau
harga pangan impor lebih murah mengapa susah-susah memproduksi sendiri.’
Atau ‘kalau harga pangan impor lebih
murah mengapa harus membeli pangan petani domestik yang lebih mahal.’ Argumen ini sesat. Harga komoditas di
pasar dunia tidak bisa jadi ukuran daya saing karena harga itu terdistorsi oleh
subsidi/bantuan domestik, dan pembatasan akses pasar. Akibatnya, harga
pangan di pasar dunia bersifat artifisial dan rendah. Di AS misalnya, ada 20 komoditas yang dilindungi
dan disubsidi. Dari US$24,3 miliar subsidi pada 2005 sekitar 70-80% diterima 20
komoditas ini. Ujung beleid ini
adalah dumping. Setelah Farm Bill 1996, dumping kedelai, gandum, beras, dan
gula naik (IATP, 2007).
Petani AS dan Uni Eropa (UE) menerima subsidi
rata-rata US$21,000 dan US$16,000 per tahun. Petani apel AS menerima US$100
juta/tahun sebagai kompensasi atas kehilangan dalam proses pemasaran. Sekitar
78% pendapatan petani padi di OECD dari bantuan pemerintah. Harga jual produk
kemudian tak lagi mengacu kepada biaya produksi. Harga ekspor gandum AS dan UE
masing-masing hanya 46% dan 34% di bawah biaya produksi, dengan penguasaan
pasar separuh dari ekspor gandum dunia. AS menguasai sekitar separuh dari ekspor jagung yang dijual dengan harga
seperlima di bawah harga produksi. Uni Eropa merupakan eksportir terbesar skimmed-milk powder dan white sugar yang diekspor pada harga
separuh dan seperempat dari harga produksi.
Keempat, instrumen stabilisasi amat
terbatas. Sejak Bulog mengalami “setengah privatisasi” menjadi Perum, praktis
kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan
pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus enam pangan
pokok dan mendapatkan berbagai privilege
kini semua itu telah dipreteli. Kini Bulog hanya mengurus beras, itu pun dengan
kapasitas terbatas. Cadangan beras yang dikelola Bulog pun amat kecil,
rata-rata antara 7-8%. Dengan kondisi seperti itu, Bulog sebagai representasi
negara tidak memiliki kapasitas besar untuk mengintervensi pasar saat terjadi
gejolak. Gejolak harga pangan akhirnya jadi rutin.
Dalam
stabilisasi kebutuhan pokok, Malaysia jauh lebih baik. Malaysia memiliki The
Price Control Act untuk mengontrol harga barang-barang yang kebanyakan
barang-barang makanan sejak 1946. Juga ada The Control of Supplies Act yang
berlaku 1961. Undang-undang ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan.
Dalam UU itu harga 225 kebutuhan sehari-hari warga dan 25 komoditas dikontrol
pada hari-hari besar. Ada pula Majelis Harga Negara yang bertugas memonitor
harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan
nasional. Ditopang beleid yang
komprefensif dan kelembagaan yang kredibel, inflasi di Malaysia bisa ditekan
rendah.
Kelima, konsentrasi distribusi sejumlah
komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar dan absennya
negara sebagai stabilisator harga pangan membuat swasta leluasa mengambil-alih
kendali tata niaga. Fungsi stabilisasi harga kini berada di tangan swasta.
Padahal, swasta selalu berorientasi maksimalisasi untung. Jalur distribusi yang
konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi
domestik dan impor. Ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan
nilai impornya amat tinggi seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, daging,
tak terkecuali bawang (putih). Bisnis impor ini bahkan sudah menjadi political
rent-seeking
yang gurih.
Keenam, absennya kelembagaan pangan. Sejak Menteri Negara Urusan Pangan
dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan
kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Bisa dikatakan,
saat ini tidak ada kelembagaan yang mengurus pangan dalam arti riil. Otonomi
daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Padahal elit daerah tak menjadikan pertanian dan pangan
sebagai driver pencitraan. Bahkan,
peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah.
Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Ini
semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.
Hasil akhir jalinan empat
faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik merosot diiringi
melonjaknya pangan impor. Pada 2012,
nilai impor pangan mencapai Rp63,9 triliun, hortikultura Rp12,9 triliun, dan
peternakan Rp15,4 triliun. Peningkatan impor terbesar terjadi pada subsektor
pangan. Saat krisis pangan meledak pada 2008, defisit subsektor pangan baru US$3,178
miliar, tahun 2011 defisit meledak lebih dua kali lipat (US$6,439 miliar).
Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging
dan bakalan sapi, aneka buah-buahan dan bawang putih.
Saat ini Indonesia bergantung
pada impor 100% untuk gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula, 18% daging sapi,
dan 95% bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju. Sampai
sekarang belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun. Padahal,
permintaan pangan terus melonjak. Laju permintaan
pangan di Indonesia 4,87% per tahun. Agar kecukupan pangan tercapai, laju
suplai pangan harus lebih besar dari permintaan. Artinya, laju suplai atau
pertumbuhan produksi harus lebih 5% per tahun. Padahal, tidak mudah menggenjot
produksi pangan lebih 5% per tahun.
Untuk mengurai berbagai problem struktural itu diperlukan
sejumlah kebijakan. Inti dari semua kebijakan tersebut adalah menghadirkan
kembali Peran negara sebagai pelindung
rakyat.
Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas dan efisiensi
usahatani dan tataniaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis
sumberdaya lokal, tak ada alasan untuk tidak swasembada. Kebijakan ini harus
ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan,
jembatan), pembenahan sistem informasi harga, pasar dan teknologi. Untuk
menopang itu semua maka pemerintah tidak boleh lagi menunda-nunda untuk
melaksanakan Pembaruan Agraria, karena tanah harus terdistribusikan kepada
petani Indonesia yang mayoritas sebagai petani gurem saat ini, demikian
juga perlu alokasi anggaran memadai.
Kedua, mengoreksi ulang liberalisasi
yang kebablasan. Adalah tindakah gegabah agresif mengintegrasikan perekonomian dan
pasar domestik dengan perekonomian dan pasar global dan regional tanpa banyak
berbuat mengintegrasikan perekonomian nasional. Pemerintah abai membangun jaring-jaring pengaman pasar. Rakyat,
terutama petani, dibiarkan berjibaku cari selamat sendiri-sendiri. Hasilnya:
banjir pangan impor. Ironisnya, barang-barang yang terdesak di pasar domestik
adalah hasil produksi dari industri yang sejatinya kita punya potensi
keunggulan komparatif, seperti mebel kayu dan rotan, hasil perikanan, pertanian
dan hortikultura, hutan, industri makanan dan minuman. Tersedia dua jalan untuk
mengakhiri masalah ini: mengkaji ulang Indonesia sebagai anggota WTO, dan
berbagai perjanjian kebijakan liberalisasi yang sudah di tandatangani
Indonesia, termasuk Asean Charter.
Ketiga, mengembalikan fungsi negara sebagai stabilisastor harga
pangan strategis. Caranya, merevitalisasi Bulog dengan memperluas kapasitasnya.
Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga diserahi mengurus sejumlah komoditas
penting lain disertasi instrumen stabilisasi yang lengkap, seperti cadangan,
harga (atas dan bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang
memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan
sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi kuasa swasta dalam
kontrol harga dan mereduksi praktik rente politik. Harus diakui, saat ini tata
niaga sejumlah komoditas masih jauh dari sempurna. Pada kedelai misalnya, dua
perusahaan –PT Gerbang Cahaya Utama (menguasai pangsa impor 47%) dan PT Cargill
Indonesia (27,6%)—menguasai pangsa impor hampir 75%. Dengan penguasaan pasar
(impor) sebesar itu, importir berpeluang me-remote
harga. Dalam gula, penguasanya hanya 7-8 perusahaan, yang sering disebut Seven
Samurai. Pada terigu, rasio
konsentrasi (concentration ratio/CR)
4 industri terigu mencapai 76,2%. Kuasa swasta ini harus dikoreksi dengan
menghadirkan kembali fungsi negara via Bulog. Amanat ini juga merupakan
perintah pasal-pasal dalam UU No 18/2012 tentang Pangan.
Keempat, segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat
Pasal 126 UU No 18/2012 tentang Pangan. Kehadiran kelembagaan pangan tidak bisa
ditawar-tawar untuk menyelesaikan centang perenang dan karut-marut pangan yang
tak terurus selama hampir 14 tahun. Kelembagaan baru ini diharapkan tak hanya
berkutat pada perumusan kebijakan, dan koordinasi pembangunan pangan, tapi juga
menuntaskan kemelut harga pangan yang selalu menjadi agenda rutin tahunan yang
telah menggerus sumberdaya yang cukup besar. Bangsa ini kehabisan waktu,
tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang mustinya
bisa diselesaikan dengan cara cerdas.
Kelima, Menghadirkan kembali peran dari usaha rakyat melalui
koperasi-koperasi usaha untuk memasarkan produksi pertanian dan kebutuhan pokok
sehari-hari rakyat.
Keenam, menggunakan momentum sensus pertanian yang sedang
berlangsung sekarang untuk menyusun data produksi dan konsumsi pangan di
Indonesia, sehingga tidak dengan mudah dimanipulasi oleh berbagai kepentingan.
Husnul Yaqin
Jakarta, 3 April 2013