Rencana Bangunan Hambalang (foto kompas) |
oleh : Iwan Piliang
Judul tulisan saya kali ini, mengutip kata-kata Saididu, mantan Sekjen
Kementrian BUMN, sebagai mana ia tuliskan di time line twitter-nya yang
di-mention-kan kepada saya: Proyek Hambalang Rekayasa Maha Sempurna.
Mengapa tajam rekayasanya sehingga sempurna?
Sederhananya, ada pihak tertentu menginginkan proyek menyamun dana
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Tujuannya banyak uang bisa disunat.
Caranya, mereka menang-tenderkan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BMUN),
agar kredibel. Mereka pemain, memilih BUMN perusahaan terbuka. Tapi sub
kontraktor sudah ditentukan untuk menangguk keuntungan lebih. Pertanyaan
mengapa sang BUMN mau? Selain kepentingan komisi hasil kolusi juga urusan ego
libido direksi naik posisi dari level menejer ke direksi, bahkan hingga Dirut,
semuanya butuh koneksi dan uang. Khususnya koneksi di DPR.
Kasus Proyek Hambalang, proses tender 4 BUMN dipimpin PT Adi Karya
(Nindya Karya, Hutama Karya, Waskita Karya). Mereka inilah mengatur harga
bersama konsultan perencana, juga BUMN, PT Yodia Karya. Nah di belakang itu
semua, ada oknum terindikasi memainkan peran bernama Mahfud Suroso. Ia berada
di PT Dutasari Citra Laras (DCL), sebagai sub kontraktor. Apa kesaktian Mahfud?
Ia dibayar oleh PT Adhi Karya paling awal di nilai kontrak Rp 295 miliar, untuk
pekerjaan Mechanical Electrical (ME).
Di mana-mana publik juga paham pekerjaan ME selalu dibayarkan paling
akhir?
Kesaktian Mahfud itu, sebagaimana sudah ditulis di media massa,
kendati sudah dibantah, di DCL duduk Attiya Laila, yang tak lain adalah isteri
Anas Urbaningrum - - benang merah selalu dibantah Anas.
Berkali-kali di televisi saya katakan bahwa tajam sekali unsur mark-up
di proyek Hambalang. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) , nomor:
139/HP/XVI/10/2012, 30 Oktober 2012, copy dokumen lengkapnya saya miliki. Pada
item lampiran 9 audit BPK, Pengadaan ME transformator Oil 1600 kva negara bayar
ke PT Adhi Karya dan Dutasari Citralaras Rp 358 juta, padahal harga satuan di
subkontraktor hanya Rp Rp 148 juta, mark up 140%. Diesel genset 2000 kva harga
beli negara Rp 5 miliar, dari subkon hanya Rp 2 miliar, mark up 150%, Panel 3
masjid harga dibayar negara Rp 55 juta, dari sub kon hanya Rp 1,4 juta, mark up
3.600%, Back up Battery negara bayar Rp 17 juta, dari sub kon Rp 372 ribu,
markup 4.700%
Itu sekadar sedikit cuplikan angka. Bejibun lain bisa dibaca benderang
di dokumen audit BPK 30 Oktober 2012 lalu.
Dari data yang secuail itu saja, dasar audit BPK itu sudah bisa
seharusnya mencokok direksi PT Adhi Karya, juga Sub Kontraktornya tadi. Temali
dari dua perusahaan ini bila di tarik ke hulu, mulai pengurusan sertifikat
tanah yang menjadi lokasi proyek Hambalang, sebagaimana juga sudah ditulis di
media, melibatkan Ignatius Moeljono. Ia meminta bantuan kepala Badan Pertanahan
Nasional kala itu, untuk mempercepat proses sertifikat tanah Hambalang. Dalam
verifikasi saya di lapangan, termasuk keterangan Nazarudin di penjara Cipinang
belum lama ini, “Sertifikat itu dari Ignatius Moeljono diserahkan ke ketua
fraksi Partai Demokrat.”
Dalam penuturan Nazarudin, ia pernah dikonfrontir dengan Wafid
Muharam, Sekmenpora, yang kini sudah terpidana. Wafid pernah ditanya penyidik
dari mana asal serifikat tanah Hambalang?
Jawaban Wafid, sebagaimana dituturkan oleh Nazarudin kepada saya,
“Wafid mengaku sudah terletak di mejanya otomatis saja.”
“Sejatinya sertifikat dari Ignatius itu diserahkan kepada Ketua Fraksi
Partai Demokrat kala itu, lalu ketua fraksi menyerahkan kepada Wafid Muharam.”
Ketua fraksi yang dimaksudkan Nazar, adalah Anas Urbaningrum. Namun ke banyak
media, Anas sudah membantah keterangan Nazar tersebut, termasuk Ignatius dalam
penelusuran saya di media, membantah juga paparan itu.
Indikasi nama-nama berikut: Muchayat, Deputi Meneg BUMN, lalu direksi
PT Adhi Karya: Bambang Triwibowo, Dirut, Teuku bagus, Penanggung Jawab Kerjasam
Operasi (KSO) Adhi-Wika, Koorniawan R Purwo dan Agus Karianto, keduanya tangan
kanan Teuku Bagus, diduga bermain dengan pihak DCL yang di dalamnya ada Mahfud
Suroso, Munadi Herlambang dan Attiya Laila. Munadi adalah anak kandung
Muchayat. Di balik nama-nama tadi ada pula nama Wisler Manalu, ketua panitia
lelang, eselon 3 Kemenpora dan Dedy Kusnidar, PPK, Pimpro, eselon 2 Kemenpora.
Jika saja Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja maksimal, maka menyidik
nama-nama saya paparkan di atas, kuat dugaan mengantar mengerucut ke akar kasus
ini. Publik tidak hanya diriuh-rendahi oleh urusan remah penyebutan gratifikasi
mobil Toyota Harier. Lalu berita tuding-menuding dan bantah-membantah
bersahutan riuh-rendah tak kian membuncah.
Di media sosial, kebetulan saya aktif di dalamnya, acap mendapatkan
bully setiap menulis hal ihwal soal kasus Hambalang ini. Tak cukup hanya
di-bully, dalam kenyatan sehari-hari juga acap diteror melalui nomor telepon
selular berganti-ganti. Saya tak paham apakah penyidik di KPK, juga mendapatkan
ancaman? Sehingga KPK dirasakan kurang menggigit bila sudah bicara Hambalang?
Satu yang pasti, menurut dosen filsafat Universitas Indonesia,
Suryadi, saya temui pekan lalu, mengatakan, “Yang namanya koruptor pasti
melakukan perlawanan menggunakan tangan-tangan orang lain.”
“Apalagi koruptor itu sudah banyak uangnya.” tutur Suryadi.
“Semua seakan murah bagi mereka. Termasuk nyawa manusia.”
Bila sudah demikian, memang tinggal berdoa ke haribaan Yang Maha
Kuasa, agar menunjukkan bahwa yang benar itu benar, yang salah ya salah.
Apalagi bila menyebut indikasi andil nama Muchayat pejabat di Kementrian BUMN,
konon pula bertemali ke sosok SS di istana, urusan menjadi bak benang kusut.
Namun saya pribadi percaya, di mana selagi ada kejernihan hati seberapa
kusut-masainya pilinan kejahatan itu, pasti bisa diurai. Toh Tuhan tidak pernah
tidur.