Jumat, 12 Agustus 2011

SLILIT SANG KYAI

Cak Nun

Oleh : Emha ainun nadjib

Tidak jelas apa bahasa indonesianya , tapi biasa disebut slilit .kalau habis di traktir makan sate, Biasanya ada serabut kecil sisa daging nyelip di antara gigi – itulah slilit.


Slilit sama sekali tak penting. Tak perna jadi urusan nasional. Tak berkaitan dengan setiap kampanye pembangunan. koran tak perna mengcover nya. Para ilmuan atau produksi ekonomi yang punya urusan dengannya disebut “tusuk gigi” bukan “tusuk slilit” padahal slilitlah yang di tusuk.

Namun, Begitulah, slilit perna memusingkan seorang kyai di alam kuburnya, Bahkan mengancam kemungkinan suksesnya masuk surga. Ceritanya dia mendadak dipanggil tuhan. Sebelum para santrinya siap untuk itu. Murid – murid setia itu sesudah mengubur sang kyai, lantas ngelembur mengaji berhari-hari agar di perkenankankan bertemu dengan roh sang Kyai barang satu dua jenak. Dan Allah Yang Maha Memungkinkan Segala Kejadian akhirnya menunjukkan tanda kebenaran-Nya dalam mimpi para santri itu. Roh Kyai menemui mereka.

Terjadilah wawancara singkat, perihal nasib sang kyai di “sana”. Baik-baik, Nak. Dosa-dosaku umumnya di ampuni . Amalku di terimah. Cuma ada satu hal yang membuatku masygul. Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri di rumah pak khusen? Sehabis makan bareng, hadirin berebut menyalamiku. Hingga tak sempat aku mengurus slilit di gigiku. Ketika pulang di tengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa enggak bawa tusuk slilit maka aku memangambil potongan kayu kecil dari pagar orang. Kini , alangkah sedihnya aku tak sempat minta maaf pada yang punya perihal tindakan pencurian itu.

Apakah Allah bakal mengampuniku?”

Para santri pun turut berduka. Kemudian membayangkan alangkah lebih malangnya nasib sang kyai bila slilit di giginya itu, serta tusuk gigi yang dicurinya itu, sebesar gelondongan kayu raksasa dihutan kalimantan. Lebih – lebih lagi kalau Hotel Asoka atau candi Borobudur , setidaknya satelit palapa. Atau uang negara yang milyaran bahkan trilyunan.

Ada satu intensitas rohani tertentu dari hidup manusia yakni tempat Tuhan yang begitu mutlak. Tempat pahala begitu sakral, dan dosa begitu menakutkan lebih dari banaspati. Intensitan itu tergantung pada bagaimana seseorang mengolah dirinya dalam hidup.
Meski demikian, hal itu sebenarnya naluria saja. Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun. Orang yang menebang pohon angker dan jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa kepada yang punya dan penjaga pohon itu. Ada juga yang merasionalisasi: karena tindakan penebangan itu merusak sistem ekologi .

Seorang indian Wintu di california berkata pilu.

“Orang - orang kulit putih ini tak perna mencintai tanah, rusa, atau beruang. Jika kami makan daging, kami tak menyisahkanya, jika kami mengambil akar , kami bikin lubang, bukan mencerabutnya. kami tak menumbangkan pohon. Kami hanya memakai kayu yang sudah mati. Tapi orang kulit putih membajak tanah. Merobohkan pohon. Membunuh segala yang di kehendaki. Pohon pohon menangis: jangan! Aku luka dan sakit!’-tapi mereka tetap mencabutnya.memotong motongnya. Roh tanah mereka benci! Mereka meledakkan batu-batu, gunung-gunung kecil. Menghamparkanya di tanah hingga saling tak bisa bernafas. Batu-batu mengaduh: ‘jangan! Aku pecah dan sedih!-tapi mereka tak ambil peduli. Bagaimana roh batu menyayangi mereka? Apa saja yang tersentuh tanagn merekah rusaklah segala sesuatu itu.

Naluri jernih suku Wintu bagai menyindir sejarah, sesudah kepunahan bangs kulit merah. Manusia dengan kecerdasanya berhasil menaklukkan alam, menggenggamnya, mengeksplorasi , mengeksploitasinya, menyulap menjadi sungai impian. memakannya, menghabiskanya. Mengurus dan menggenyamnya, demi kelayakan-kelayakan yang irrasional dan mubazir, bagai direncanakan untuk
menyegerakan berbagai kehancuran yang di tutup-tutupi.

Jika naluri suku wintu bisa di sebut identik dengan kesadaran dosa, pada zaman serba penaklukan ini rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya serba berkaitan, semrawut dan membenang kusut, menjadi tak begitu penting , juga di negeri yang negarahnya tampak religius. Kata Tuhan disebut ratusan kali setiap hari konsep dosa fungsi di hampir setiap kebijaksanaan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat.

Dan di bagian pinggiran itulah hidup pak kyai yang sangat masygul akibat dosa slilit-nya.

Mas inunk
Jakarta,12 agustus 2011