Mungkin
tidak semua masyarakat Indonesia mengenal Usman dan Harun. Pahlawan Dwikora
dari Korps Komando Operasi (KKO) yang sekarang bernama Korps Marinir TNI-AL,
seolah-olah tenggelam diantara nama-nama pahlawan lainnya. Bahkan dalam
pelajaran-pelajaran sejarah di bangku sekolah, nama keduanya jarang bahkan
hampir tidak tersebutkan sama sekali, padahal jika kita melihat apa yang telah
mereka lakukan adalah sebuah kisah heroik yang Tabah sampai akhir.
Nama
asli Usman adalah Janatin. Lahir di desa Tawangsari Kelurahan Jatisaba
Kabupaten Purbalingga, tanggal 18 Maret 1943 dari keluarga Haji Muhammad Ali
dengan Ibu Rukiah.
Tahun
1962 Janatin mengikuti pendidikan militer di Malang yang dilaksanakan oleh
Korps Komando Angkatan Laut. Pendidikan ini dilaksanakan guna pengisian
personil yang dibutuhkan dalam menghadapi Trikora. Karena itulah Korps Komando
Angkatan Laut membuka Sekolah Calon Tamtama (Secatamko) angkatan ke – X.
Pendidikan
dasar militer dilakasanakan di Gunung Sahari. Pendidikan Amphibi dilaksanakan
di pusat latihan Pasukan Pendarat di Semampir. Pada akhir seluruh pendidikan
diadakan latihan puncak di daerah Purboyo Malang selatan dalam bentuk Suroyudo.
Semua pendidikan ini telah diikuti oleh Janatin sampai selesai, sehingga ia
berhak memakai baret ungu.
Bulan
April 1964 di Cisarua Bogor selama satu bulan, Janatin mengikuti pendidikan
tambahan untuk : Inteljen, kontra inteljen, sabotase, Demolisi, gerilya, perang
hutan dan lain-lain. Dengan bekal dari latihan di Cisarua ini, diharapkan dapat
bergerak di daerah lawan untuk mengemban tugas nantinya.
HARUN alias TOHIR
Sama halnya dengan Usman, Harun bukanlah nama aslinya. Harun terlahir dengan nama TOHIR bin SAID tanggal 4 April 1943 di Pulau Keramat Bawean (sebuah pulau kecil di sebelah utara Surabaya). Tohir adalah anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu Aswiyani.
Sama halnya dengan Usman, Harun bukanlah nama aslinya. Harun terlahir dengan nama TOHIR bin SAID tanggal 4 April 1943 di Pulau Keramat Bawean (sebuah pulau kecil di sebelah utara Surabaya). Tohir adalah anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu Aswiyani.
Sejak
ia menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama untuk biaya hidup dan sekolah ia
menjadi pelayan kapal dagang. Hal ini yang menyebabkan Tohir mengenal dan hafal
daerah daratan Singapura sebab seringkali ia berhari-hari lamanya tinggal di
Pelabuhan Singapura.
Masuk
Angkatan Laut bulan Juni 1964, dan ditugaskan dalam Tim Brahma I di Basis II
Ops A KOTI. Di sini ia bertemu dengan Usman alias Janatin bin H. Mohammad ALI
dan Gani bin Aroep. Ketiga pemuda ini bergaul cukup erat, lebih-lebih setelah
mereka sering ditugaskan bersama sama.
Bergabung
dalam Dwikora dengan pangkat Prajurit KKO II (Prako II) Tohir mendapat gemblengan
selama lima bulan, di daerah Riau daratan dan pada tanggal 1 April 1965
dinaikkan pangkatnya menjadi Kopral KKO I (Kopko I).
Selesai
mendapatkan gemblengan di Riau daratan sebagai Sukarelawan Tempur bersama-sama
rekan-rekan lainnya, ia dikirim ke Pulau Sambu hingga beberapa lama dalam
kesatuan A KOTI Basis X. Tohir sendiri telah ke Singapura beberapa kali, dan
sering mendarat ke Singapura menyamar sebagai pelayan dapur, menggunakan kapal
dagang yang sering mampir ke Pulau Sambu untuk mengisi bahan bakar.
Wajah
Tohir yang mirip-mirip Cina itu ternyata sangat menguntungkan dalam
penyamarannya didukung dengan Bahasa Inggris, Cina dan Belanda yang dikuasai
dengan lancar sangat membantu dalam kebebasannya untuk bergerak dan bergaul di
tengah-tengah masyarakat Singapura yang mayoritas orang Cina
DWIKORA
Konfrontasi
Indonesia - Malaysia pada tahun 1963 timbul sebagai akibat dari pernyataan
sikap Indonesia yang menentang penyatuan Malaysia. memuncak. Presiden Soekarno
mengeluarkan DWIKORA pada tanggal 3 Mei 1964. Kemarahan Soekarno disulut oleh
tindakan profokatif dari Federasi Tanah Melayu yang menginginkan (atas ide dan
persetujuaan Inggris) menggabungkan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei,
Serawak dan Sabah (Borneo Utara).
Komando
tersebut mendapat sambutan dari lapisan masyarakat, termasuk ABRI. Hal ini
terbukti bahwa rakyat Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan Dwikora sehingga mencapai jumlah 21 juta sukarelawan. Gelar pasukan
sebagai upaya propaganda mulai dilakukan, mengingat persenjataan Indonesia pada
waktu itu memang kuat dan termodern.
OPERASI DWIKORA
Baru
saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi dalam mengembalikan Irian
Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah baru yang harus dihadapi oleh
seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Sukarno.
Pasukan
Sukarelawan
saat
diterima oleh Oey Tjoe Tat
(menteri
negara)
Penggunaan
tenaga sukarelawan ini membawa dampak yang besar. Dilihat dari segi positifnya
memang sangat menguntungkan, karena perang yang akan dihadapi tidak secara
frontal, sehingga akan membingungkan pihak lawan. Tetapi dari segi negatif
kurang menguntungkan, karena apabila sukarelawan itu tertangkap ia akan
diperlakukan sebagai penjahat biasa, jadi bukan sebagai tawanan perang di
lindungi oleh UU Perang.
Untuk
melindungi Operasi tersebut di atas, KOTI kemudian memutuskan untuk
mempergunakan tenaga-tenaga militer lebih banyak guna mendampingi
sukarelawan-sukarelawan tersebut, memperkuat kekuatan Sukarelawan Indonesia di
daerah musuh.
Untuk
mendukung Operasi A. KKO AL mengirimkan 300 orang anggota yang terdiri dari
Kopral sampai Perwira. Sebelum melaksanakan Operasi A. mereka diwajibkan
mengikuti pendidikan khusus di Cisarua Bogor. Selesai latihan mereka dibagi
dalam tim-tim dengan kode Kesatuan Brahma dan ditugaskan di daerah Semenanjung
Malaya (Basis II) dan di Kalimantan Utara (Basis IV).
Yang
dikerahkan di Semenanjung Malaya terdiri dari tim Brahma I beranggotakan 45
orang, tim Brahma II 50 orang, tim Brahma III 45 orang dan tim Brahma V 22
orang.
Semenanjung
Malaya (Basis II) dibagi beberapa Sub. Basis:
Sub
Basis X yang berpangkalan di P. Sambu dan Rengat dengan sasaran Singapura.
Sub.
Basis Y dengan sasaran Johor bagian barat dan Pangkalan Tanjung Balai.
Sub.
Basis T yang berpangkalan di P. Sambu dengan sasaran Negeri Sembilan, Selangor
dan Kuala Lumpur. Sub. Basis Z dengan sasaran Johor bagian timur.
Sedangkan Tugas Basis II:
Mempersiapkan
kantong gerilya di daerah lawan.
Melatih
gerilyawan dari dalam dan mengembalikan lagi ke daerah masing-masing.
Melaksanakan
demolision, sabotase pada obyek militer maupun ekonomis.
Mengadakan
propaganda, perang urat syarat
Mengumpulkan
informasi.
Melakukan
kontra inteljen.
Gelar Pasukan yang
dilakukan KKO sebagai tanggapan atas DWIKORA
Dalam
operasi ini Usman melakukan tugas ke wilayah Basis II. A Koti, ia berangkat
menuju Pulau Sambu sebagai Sub Basis dengan menggunakan kapal jenis MTB.
Kemudian menggabungkan diri dengan Tim Brahma I di bawah pimpinan Kapten Paulus
Subekti yang pada waktu itu menyamar dengan pangkat Letkol KKO - AL dan
merangkap menjadi Komandan Basis X yang berpangkalan di Pulau Sambu Riau.
Ketika Janatin (Usman) menggabungkan dengan kawan-kawannya,, ia berkenalan
dengan Tohir (Harun) dan Gani bin Arup, mereka ini merupakan sahabat yang akrab
dalam pergaulan. Mereka mendapat tugas yang sama untuk mengadakan sabotase di
Singapura.
BERGANTI NAMA
Karena
ketatnya penjagaan daerah lawan dan sukar ditembus maka satu-satunya jalan yang
ditempuh ialah menyamar sebagai pedagang yang akan memasukkan barang
dagangannya ke wilayah Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut kelihatan membawa
hasil yang memuaskan, karena dengan jalan ini anggota sukarelawan berhasil
masuk ke daerah lawan yang kemudian dapat memperoleh petunjuk yang diperlukan
untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Dari
penyamaran sebagai pedagang ini banyak diperoleh data yang penting bagi para
Sukarelawan untuk melakukan kegiatan. Dengan taktik demikian para Sukarelawan
telah berhasil menyusup beberapa kali ke luar masuk daerah musuh.
Untuk
memasuki daerah musuh agar tidak menimbulkan kecurigaan lawan, para sukarelawan
menggunakan nama samaran, nama di sini disesuaikan dengan nama-nama dimana
daerah lawan yang dimasuki. Demikian Janatin mengganti namanya dengan Usman dan
disambungkan dengan nama orang tuanya Haji Muhammad Ali. Sehingga nama samaran
ini lengkapnya Usman bin Haji Muhammad Ali. Sedangkan Tohir menggunakan nama
samaran Harun, dan lengkapnya Harun bin Said.
Dengan
nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan penyusupan ke daerah Singapura
untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian tempat-tempat yang dianggap
penting. Sedangkan di front belakang telah siap siaga kekuatan tempur yang
setiap saat dapat digerakkan untuk memberikan pukulan terhadap lawan. Kekuatan
ini terus bergerak di daerah sepanjang perbatasan untuk mendukung para
Sukarelawan yang menyusup ke daerah lawan dan apabila perlu akan memberikan
bantuan berupa perlindungan terhadap Sukarelawan yang dikejar oleh musuh di daerah
perbatasan.
PENYUSUPAN
Tanggal
8 Maret 1965 tengah malam buta, saat air laut tenang ketiga Sukarelawan ini
memasuki Singapura. Mereka mengamati tempat-tempat penting yang akan dijadikan
obyek sasaran hingga larut malam. Setelah memberikan laporan singkat, mereka
mengadakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan hasil pengamatan
masing-masing dan kembali ke induk pasukannya, yaitu Pulau Sambu (Basis II).
Pada
malam harinya mereka berkumpul kembali untuk merencanakan tugas-tugas yang haru
dilaksanakan, disesuaikan dengan hasil penyelidikan mereka masing-masing.
Setelah memberikan laporan singkat, mereka mengadakan perundingan tentang
langkah yang akan ditempuh.
Karena
belum adanya rasa kepuasan tentang penelitian singkat yang mereka lakukan,
ketiga Sukarelawan di bawah Pimpinan Usman, bersepakat untuk kembali lagi ke
daerah sasaran untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam. Mereka akhirnya
memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald, yang terletak di Orchad
Road yang merupakan pusat keramaian di kota Singapura.
Siang
harinya di tengah-tengah kesibukan dan keramaian kota Singapura ketiga
sukarelawan bergerak menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi karena pada saat
itu suasana belum mengijinkan akhirnya mereka menunggu waktu yang paling tepat
untuk menjalankan tugas. Setelah berangsur angsur sepi, mulailah mereka
menyusup untuk memasang bahan peledak seberat 12,5 kg.
Tempat Bom di pasang
Kira-kira
pukul 03.07 dini hari 10 Maret 1965, terjadilah ledakan dahsyat yang berasal
dari bagian bawah Hotel Mac Donald. Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang
tertimbun oleh reruntuhan sehingga mengalami luka berat dan ringan.
20
buah toko di sekitar hotel itu mengalami kerusakan berat, 24 buah kendaraan
sedan hancur, 3 orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan.
Saat terjadi ledakan, orang-orang berhamburan ke luar hotel, dan di antara
orang-orang yang berdesakan ingin keluar dari hotel tersebut adalah Usman.
Pada
hari itu juga mereka berkumpul kembali untuk kembali ke pangkalan. Situasi
menjadi sulit, seluruh aparat keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari
pelaku yang meledakkan Hotel Mac Donald. Melihat situasi demikian sulitnya,
lagi pula penjagaan sangat ketat, tidak ada celah untuk bisa ditembus.
Sulit
bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura. Akhirnya mereka
sepakat untuk menerobos penjagaan dengan menempuh jalan masing masing, Usman
bersama Harun, sedangkan Gani bergerak sendiri.
Tanggal
11 Maret 1965 Usman dan anggotanya bertemu kembali. Sebelum berpisah Usman
menyampaikan pesan kepada anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu sampai ke
induk pasukan, supaya melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan.
GAGAL KEMBALI KE PANGKALAN
Usman
yang bertindak sebagai pimpinan belum faham betul dengan daerah Singapura,
walaupun ia sering memasuki daerah ini. Karena itu Usman meminta kepada Harun
supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke pangkalan. Untuk menghindari
kecurigaan, mereka berjalan saling berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu
dengan yang lain tidak ada hubungan sama sekali.
Dengan
berbagai usaha akhirnya mereka berdua dapat memasuki pelabuhan Singapura dan
menaiki kapal dagang Begama yang pada waktu itu akan berlayar menuju Bangkok.
Keduanya menyamar sebagai pelayan dapur.
12
Maret 1965 Kapten kapal Begama mengetahui ada dua orang yang bukan anak buahnya
berada dalam kapal, lalu mengusir mereka dari kapal. mereka diacam akan
dilaporkan kepada Polisi apabila tidak mau pergi dari kapal. Kapten Kapal tidak
mau mengambil resiko kapalnya ditahan oleh pemerintah Singapura.
Tanggal
13 Maret 1965 Usman dan Harun meninggalkan kapal Begama dan berusaha mencari
sebuah kapal agar mereka dapat bersembunyi dan keluar dari daerah Singapura.
Ketika mereka sedang mencari-cari kapal, tiba-tiba tampaklah sebuah motorboat
yang dikemudikan oleh seorang Cina. Mereka merebut motorboat dari pengemudinya
dan dengan cekatan mereka mengambil alih kemudi, kemudian haluan diarahkan
menuju ke Pulau Sambu. Namun, sebelum mereka sampai ke perbatasan peraian
Singapura, motorboat yang mereka gunakan macet di tengah laut. Mereka tidak
dapat lagi menghindari diri dari patroli musuh. Pukul 09.00 pagi di hari itu,
Usman dan Harun tertangkap dan di bawa ke Singapura sebagai tawanan.
DIADILI
Usman
dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara
Singapura sebagai tawanan. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun di
hadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura
dengan J. Chua sebagai Hakim. Usman dan Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan
Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan:
Menurut
ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah melanggar Control
Area.
Telah
melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
Telah
menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
Dalam
proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan,
sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964. Dalam Sidang
Pengadilan Tinggi (Hight Court) Usman dan Harun telah menolak semua tuduhan itu
dan mereka memberi pernyataan bahwa apa yang mereka lakukan bukan kehendak
sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada
sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang/POW (Prisoner of War).
Namun Hakim menolak permintaan mereka dengan alasan sewaktu kedua tertuduh
tertangkap tidak memakai pakaian militer.
Persidangan
berjalan kurang lebih dua minggu, pada tanggi 20 Oktober 1965 Sidang Pengadilan
Tinggi (Hight Court) yan dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman da
Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnya tiga orang sipil.
Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.
Pada
tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun mengajukan naik banding ke Federal Court of
Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah dan J.J. Amrose.
Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak perkara naik
banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967 perkara
tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London.
UPAYA
DIPLOMATIS
Dalam
kasus ini Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela
yaitu Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di Singapura.
Usaha itu gagal. Surat penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.
Usaha
terakhir adalah mengajukan permohonan grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin
Ishak pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan kedua
prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan. Kedutaan RI di Singapura
diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat dijalankan
guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua sukarelawan
Indonesia tersebut.
Pada
tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar
Negeri Singapura membantu usaha yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun
mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968 Menlu Singapura menyatakan
bahwa permohonan grasi atas hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden
Singapura.
15
Oktober 1968 Presiden Suharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo
ke Singapura untuk menyelamatkan kedua patriot Indonesia. Pada saat itu PM
Malaysia Tengku Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar
mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap
pada pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga
prinsip-prinsip tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati
terhadap dua orang KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17
Ok tober 1968 pukul 06.00 pagi waktu Singapura.
Permintan
terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua mereka ini
dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum dengan orang
tuanya dan sanak farmilinya juga ditolak oleh Pemerintah Singapura tetap pada
keputusannya, melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun.
Waktu
berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman, dimana Pemerintah Singapura
telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan hukuman gantung terhadap
Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat pukul 06.00 pagi. Para pemimpin
Indonesia terus berusaha untuk menyelesaikan masalah ini, sebab merupakan
masalah nasional yang menyangkut perlindungan dan pem belaan warga negaranya.
Rabu
sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TIN Tjokropranolo sebagai utusan pribadi
Presiden Suharto datang ke penjara Changi. Dengan diantar Kuasa Usaha Republik
Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan didampingi Atase Angkatan Laut
Letkol (G) Gani Djemat SH, menemui Usman dan Harun pada pukul 16.00.
Sebuah
pertemuan yang mengharukan tetapi membanggakan. Usman dan Harun segera
mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta memberikan laporan
lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan Brigjen Tjokropranolo
sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian membuat Brigjen
Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan terasa berat untuk
menyampaikan pesan. Pertemuan ini membawa suasana haru, sebagai pertemuan Bapak
dan Anak yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu lagi untuk
selamanya.
Pesan
yang disampaikan adalah bahwa Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai
Pahlawan dan akan dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian
menyampaikan salut atas jasa mereka berdua terhadap Negara.
Kolonel
A. Rambli dalam kesempatan itu pula menyampaikan, bahwa Presiden Suharto
mengabulkan permintaan mereka untuk dimakamkan berdampingan di Indonesia.
Sebelum
berpisah Usman dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas usahanya, kepada
Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan pelajar, Sarjana Hukum serta seluruh
Rakyat Indonesia yang telah melakukan upaya untuk membebaskan mereka dari
hukuman mati. Saat pertemuan berakhir, Sersan KKO Usman memberikan aba-aba, dan
keduanya memberi hormat kepada para utusan. Sikap kukuh dan tabah dari Usman
dan Harun tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada tanggal 16 Oktober
1968.
HUKUMAN
GANTUNG
Pukul
05.00 subuh kedua tawanan itu dibangunkan oleh petugas penjara, kemudian
disuruh sembahyang menurut agamanya masing-masing. Setelah melakukan sembahyang
Usman dan Harun dengan tangan diborgol dibawa oleh petugas ke kamar kesehatan
untuk dibius. Dalam keadaan terbius dan tidak sadar masing-masing urat nadinya
dipotong oleh dokter tersebut, sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali. Lalu
Usman dan Harun dibawa menuju ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 pagi hari
Kamis tanggal 17 Oktober 1968 eksekusi terhadap Usman dan harun dilakukan.
Pejabat
penjara Changi menyampaikan berita kepada para wartawan yang mengikuti
peristiwa ini, bahwa hukuman telah dilaksanakan. Berita eksekusi tersebar ke
seluruh penjuru dunia
PENGHORMATAN
UNTUK USMAN DAN HARUN
Bendera
merah putih telah dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung. Warga
Indonesia yang berada di Singapura berbondong-bondong datang membanjiri Kantor
Perwakilan Indonesia dengan membawa karangan bunga sebagai tanda kehormatan
terakhir terhadap kedua prajuritnya.
Pemerintah
Indonesia mengirim Dr. Ghafur dengan empat pegawai Kedutaan Besar RI ke penjara
Changi untuk menerima kedua jenazah untuk disemayamkan di Gedung Kedutaan Besar
RI. Akan tetapi kedua jenazah belum boleh dikeluarkan dari penjara sebelum
dimasukkan ke dalam peti dan menunggu perintah selanjutnya dari Pemerintah
Singapura.
Setelah
jenazah di masukkan ke dalam peti, Pemerintah Singapura tidak mengizinkan
Bendera Merah Putih yang dikirimkan Pemerintah Indonesia untuk di selubungkan
pada peti jenazah kedua Pahlawan tersebut pada saat masih di dalam penjara.
Pukul 10.30 kedua jenzah baru diizinkan dibawa ke Kedutaan Besar RI
Setelah
mendapatkan penghormatan terakhir dari masyarakat Indonesia di KBRI, pukul
14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang dimana telah menunggu pesawat
TNI—AU. yang akan membawa kedua jenazah tersebut ke Tanah Air.
Pada
hari itu Presiden Suharto sedang berada di Pontianak meninjau daerah Kalimantan
Barat yang masih mendapat gangguan dari gerombolan PGRS dan Paraku. Saat
mendengar kabar bahwa Pemerintah Singapura telah melaksanakan hukuman gantung
terhadap Usman dan Harun, maka Presiden Suharto langsung mengeluarkan
pernyataan bahwa Usman dan Harun dari KKO-AL diangkat sebagai Pahlawan
Nasional.
17
Oktober 1968 Pukul 14.35 pesawat TNI—AU yang khusus dikirim dari Jakarta
meninggalkan lapangan terbang Changi membawa kedua jenazah yang telah
diselimuti oleh dua buah bendera Merah Putih yang dibawa dari Jakarta. Setibanya
di Kemayoran, kedua jenazah Pahlawan itu diterima oleh Panglima Angkatan Laut
Laksamana TNI R. Muljadi dan disemayamkan di Aula Hankam Jalan Merdeka Barat
sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Upacara
Penyambutan Jenazah Usman dan Harun
Sepanjang
jalan antara Kemayoran, Merdeka Barat penuh berjejal manusia yang ingin melihat
kedatangan kedua Pahlawannya, Pahlawan yang membela kejayaan Negara, Bangsa dan
Tanah Air.
Malam
harinya, penghormatan terakhir diberikan oleh pejabat-pejabat Pemerintah, baik
militer maupun sipil. Jenderal TNI Nasution melakukan sembahyang dan beliau
menunggui jenazah Usman dan Harun sampai larut malam.
Tepat
pukul 13.00 siang, sesudah sembahyang Jum'at, kedua jenazah diberangkatkan dari
Aula Hankam menuju ke tempat peristirahatan yang terakhir. Jalan yang dilalui
iringan ini dimulai Jalan Merdeka Barat, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal
Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Pasar Minggu dan akhirnya sampai Kalibata.
Turut
mengiringi dan mengantar kedua jenazah selain keluarga Usman dan Harun, adalah
para Menteri Kabinet Pembangunan, Laksamana R. Muljadi, Letjen Kartakusumah,
Para Perwira Tinggi ABRI, Korps Diplomatik, Ormas dan Orpol, dan tidak
ketinggalan para pemuda dan pelajar serta masyarakat.
Bertindak
sebagai Inspektur Upacara adalah Letjen Sarbini. Atas nama Pemerintah Letjen
Sarbini menyerahkan kedua jasad Pahlawan ini kepada Ibu Pertiwi dan dengan
diiringi doa semoga arwahnya dapat diberikan tempat yang layak sesuai dengan
amal bhaktinya. Dengan didahului tembakan salvo oleh pasukan khusus dari
keempat angkatan, peti jenazah diturunkan dengan perlahan-lahan ke liang lahat.
Pemerintah
telah menaikkan pangkat mereka satu tingkat lebih tinggi yaitu Usman alias
Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi Sersan Anumerta KKO dan Harun alias Tohir
bin Mandar menjadi Kopral Anumerta KKO. Sebagai penghargaan Pemerintah
menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti dan diangkat sebagai Pahlawan
Nasional.
SURAT
TERAKHIR USMAN
Dihaturkan
:
Bunda
ni Haji Mochamad Ali
Tawangsari.
Dengan
ini anaknda kabarkan bahwa hingga sepeninggal surat ini tetap mendo'akan Bunda,
Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Rodiijah + Tur dan
keluarga semua para sepuh Lamongan dan Purbalingga Laren Bumiayu.
Berhubung
rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Republik Singapura tidak dapat
dikabulkan maka perlu ananda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda dan
keluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas ananda telah
diputuskan pada 17 Oktober 1968 Hari Kamis Radjab 1388.
Sebab
itu sangat besar harapan anaknda dalam menghaturkan sudjud di hadapan bunda,
Mas Choenem, Mas Madun, Mas Chalim, Jur Rochajah, Ju Khodijaht Turijah para
sepuh lainnya dari Purbolingga Laren Bumiayu Tawangsari dan Jatisaba sudi kiranya
mengickhlaskan mohon ampun dan maaf atas semua kesalahan yang anaknda sengaja
maupun yang tidak anaknda sengaja.
Anaknda
di sana tetap memohonkan keampunan dosa kesalahan Bunda saudara semua di sana
dan mengihtiarkan sepenuh-penuhnya pengampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Anaknda
harap dengan tersiarnya kabar yang menyedihkan ini tidak akan menyebabkan
akibat yang tidak menyenangkan bahkan sebaliknya ikhlas dan bersukurlah
sebanyak-banyaknya rasa karunia Tuhan yang telah menentukan nasib anaknda
sedemikian mustinya.
Sekali
lagi anaknda mohon ampun dan maaf atas kesalahan dan dosa anaknda kepangkuan
Bunda Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Pualidi , Rodijah,
Turiah dan keluarga Tawangsari Lamongan Jatisaba Purbolingga Laren Bumiayu.
Anaknda,
Ttd.
(Osman
bin Hadji Ali)
SURAT
TERAKHIR HARUN
Dihaturkan
Yang
Mulia Ibundaku
Aswiani
Binti Bang.
yang
diingati siang dan malam.
Dengan
segala hormat.
Ibundaku
yang dikasihi, surat ini berupa surat terakhir dari ananda Tohir. Ibunda
sewaktu ananda menulis suat ini hanya tinggal beberapa waktu saja ananda dapat
melihat dunia yang fana ini, pada tanggal 14 Oktober 196 rayuan ampun perkara
ananda kepada Presiden Singapura telah ditolak jadi mulai dari hari ini Ananda
hanya tinggal menunggu hukuman yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober
1968.
Hukuman
yang akan diterima oleh ananda adalah hukuman digantung sampai mati, di sini
ananda harap kepada Ibunda supaya bersabar karena setiap kematian manusia yang
menentukan ialah Tuhan Yang Maha Kuasa dan setiap manusia yang ada di dalam
dunia ini tetap akan kembali kepada Illahi.
Mohon
Ibunda ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan ananda selama ini
sudilah Ibundaku menerima ampun dan salam sembah sujud dari ananda yang
terakhir ini, tolong sampaikan salam kasih mesra ananda kepada seisi kaum
keluarga ananda tutup surat ini dengan ucapan terima kasih dan Selamat Tinggal
untuk selama-lamanya,
amin.
Hormat
ananda,
Ttd.
Harun
Said Tohir Mahadar
Jangan
dibalas lagi