Sekarang sedang ribut pemberitaan soal ucapan selamat natal dari
seorang muslim kepada umat Kristen yang diharamkan meski ada sebagian
yang memperbolehkan. Alasannya, perayaan Natal merupakan ritual
keagamaan non-Muslim yang tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk
mengikutinya.
"Haram juga ucapan Natal, jangankan ikut
mengucapkan, menyerupai saja dengan yang bukan budaya Islam sudah haram,
apa lagi ikut terlibat dengan mengucapkannya," mengutip pernyataan
ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh, Abdul Karim
Syeikh, Sabtu (14/12) merdeka.com.
Sejak dulu sebenarnya
masalah seperti ini sudah menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia
yang majemuk. Ada sebagian yang menilai haram, ada juga yang tidak.
Nah, untuk memperkaya referensi, ada baiknya anda tahu bagaimana
pendapat Gus Dur soal masalah ini.
Kata
“natal” berasal dari ungkapan bahasa Latin Dies Natalis (Hari Lahir).
Dahulu juga dipakai istilah Melayu-Arab Maulid atau Milad. Pada
negara-negara yang berbahasa Arab, hari raya ini disebut dengan Idul
Milad. Dalam bahasa Inggris perayaan Natal disebut Christmas, dari
istilah Inggris kuno Cristes Maesse (1038) atau Cristes-messe (1131),
yang berarti Misa Kristus. Christmas biasa pula ditulis Χ'mas, suatu
penyingkatan yang cocok dengan tradisi Kristen, karena huruf X dalam
bahasa Yunani merupakan singkatan dari Kristus atau dalam bahasa Yunani
Chi-Rho (Wikipedia).
Gus Dur pernah menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul: Harlah, Natal dan Maulid. Menurut Gus Dur , kata Natal menurut ahli bahasa yang arti bahasanya sama dengan kata harlah (hari kelahiran),
hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti
khusus, lain dari yang digunakan secara umum, seperti dalam bidang
kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berarti "perawatan
sebelum kelahiran".
Dengan demikian, maksud istilah
'Natal' adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh 'perawan suci'
Maryam. Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran
anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.
Sedangkan Maulid, Gus Dur
menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pertama kali
dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi atau
dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik yang
berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin,
agar menang dalam perang Salib (crusade).
Dia
memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad
setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih
dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di
Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam
puisi dan prosa untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.
Dengan demikian, Gus Dur
melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai makna khusus, dan
tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kata Maulid
dan Natal adalah "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang
diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya adalah
asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang
beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan
maulid dipakai orang-orang Islam.
Menurut Gus Dur,
Natal dalam kitab suci Alquran disebut sebagai "yauma wulida" (hari
kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai
hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas orang yang
dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada
beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat
al-Maryam: "Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu
'alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.
Bahwa kemudian Nabi Isa 'dijadikan' Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah masalah lain lagi.
Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui oleh kitab suci
al-Qur'an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus
dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus
dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi
dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan.
Menurut
Gus Dur "Jika merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau (Isa)
dalam pengertian yang kita yakini, sebagai Nabi Allah SWT."
Dengan demikian, Gus Dur
melanjutkan, "menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut
menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal.
Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan
oleh agama. Gus Dur menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama."
Dalam litelatur fiqih, Gus Dur
mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain
yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim
diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut
dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan bagi kaum
muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan dianggap turut
berkebaktian yang sama.
"Karena itulah, kaum Muslimin
biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian
dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk
bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih."
Kerukunan
umat beragama adalah wilayah sosiologis yang tidak bisa dipersamakan
dengan wilayah teologis. Jadi, ada wilayah yang tidak bisa ditoleransi
dalam pengertian khusus ialah wilayah teologis, sedangkan wilayah
sosiologis dan budaya maka harus ada saling pemahaman untuk membangun
kerukunan.
Kita mempunyai hak dan kemerdekaan dalam
menyampaikan pendapat dan itu di atur oleh Undang-Undang No 9 Tahun
1998, terlepas dari pengertian di atas ada kebebasan bagi kita untuk
memberikan ucapan selamat natal atau tidak memberikan ucapan, tetapi
kita harus saling menghargai tanpa memperdebatkan permasalahan ini,
Menurut Prof. Dr. Nur Syam, M.Si (Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya)
"kerukunan bangsa ini jauh lebih utama dari pada perselisihan yang tidak
akan perna ada habisnya karena kerukunan umat beragama adalah bagian
penting dari pembangunan bangsa, Jika kerukunan beragamanya bermasalah,
maka pembangunan masyarakat dan bangsa juga akan terganggu. Makanya
kerukunan umat beragama merupakan pilar bagi pembangunan bangsa".
Sumber :
. Sinar Harapan 20 Desember 2003
. Prof. Dr. Nur Syam, M.Si (Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya)
. Merdeka.com
. Wikipedia